REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia menilai teror bom di rumah dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dan Laode M Syarif adalah bentuk nyata teror terhadap pembela hak asasi manusia di sektor antikorupsi.
"Tidak tanggung-tanggung serangan terjadi pada level pimpinan KPK. Ini menunjukkan adanya keberulangan akibat ketiadaan hukuman atau impunitas terhadap pelaku penyerangan pekerja HAM di sektor antikorupsi. Belum terkuak pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan setelah lebih dari satu tahun, sekarang giliran ketua dan wakil ketua KPK," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam pernyataan resmi yang diterima Republika.co.id, Rabu (9/1).
Usman mendesak kepolisian segera mengungkap pelaku dan dalang di balik teror ini. Insiden ini juga harus menjadi cambuk bagi polisi untuk menuntaskan investigasi aktor-aktor di balik serangan terhadap Novel Baswedan, termasuk terhadap mereka yang memiliki tanggung jawab komando.
Menurut Usman, Presiden Joko Widodo juga harus mengambil inisiatif untuk memerintahkan Kapolri agar melindungi pimpinan dan pegawai KPK beserta keluarga mereka pasca-insiden pelemparan bom molotov ini. Menurutnya, inilah momen yang tepat bagi Jokowi untuk menunjukkan komitmennya melindungi pejuang HAM di sektor anti-korupsi setelah sebelumnya membuat publik kecewa karena enggan membentuk Tim Independen Gabungan Pencari Fakta dalam kasus penyerangan Novel.
"Tim ini penting untuk mengungkap fakta-fakta dibalik penyerangan Novel dan juga melihat kemungkinan apakah teror-teror terhadap pimpinan dan pegawai KPK ini berujung pada dalang yang sama yaitu mereka yang ingin menghambat KPK melakukan kerjanya memberantas korupsi di Indonesia," kata Usman.
Bagi Amnesty International, mereka yang berprofesi sebagai petugas penegak hukum juga bisa disebut sebagai pembela hak asasi manusia. Korupsi bisa berakibat pada hilang atau berkurangnya kapasitas dan sumber daya negara guna memenuhi hak-hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya.