REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengendalikan marah adalah sikap manusia bijaksana. Seorang yang marah akan menutup ruang berpikir. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, seorang sahabat pernah meminta nasihat kepada Rasulullah SAW. “Berilah saya nasihat wahai Rasulullah,” ujarnya.
“La taghdab (jangan engkau marah),” jawab Rasulullah singkat. Lelaki itu kembali mengulang pertanyaannya, tapi jawaban Rasulullah tetap saja sama baginya. (HR Bukhari).
Seperti dikisahkan dari Syahid Muthahari dalam Bist Guftar, laki-laki ini pun kembali ke kabilahnya. Secara kebetulan, baru saja ia sampai di kabilahnya, ia dihadapkan pada sebuah situasi bahwa kabilahnya akan menggelar perperangan dengan kabilah lain.
Awalnya, ia pun semapat tersulut emosi karena fanatik kepada kabilahnya. Ia pun bertekad untuk ikut bertempur karena ingin membela sukunya. Tatkala semua perlengkapan perang siap, ia kembali teringat pesan Rasulullah SAW. Ia pun surut dari barisan perang tersebut dan meredam kembali amarahnya.
Ketika ia sudah mulai stabil, pintu hatinya pun terbuka. Ia bisa berpikir lebih jernih dan menilai permasalahan dengan baik. Akhirnya, ia mencoba untuk mengklarifikasi masalah tersebut dari kedua kubu yang akan berperang itu.
Akhirnya, solusi pun tercapai. Kedua kubu sepakat untuk berdamai dan terelakkanlah perperangan yang akan merenggut ratusan nyawa itu. Begitulah seorang yang bijaksana dapat memadamkan kemarahannya dengan nurani dan akal sehat. Ibarat air yang sejuk memadamkan api yang tengah berkobar.
Imam Nawawi mengatakan, makna dari La taghdab dalam hadis Rasulullah SAW tersebut adalah jangan sampai seseorang menumpahkan kemarahan, sehingga membutakan hatinya. Larangan ini bukan tertuju kepada rasa marah itu sendiri. Jadi, ketika seorang ingin marah, ketika itulah ia bisa menguasai dirinya. Sehingga, rasa marah tidak memengaruhinya untuk bisa berpikir, berucap, dan mengambil keputusan dengan baik dan hati yang jernih.
Seorang yang diselimuti rasa marah hendaklah menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum bertindak atau berucap. Dalam hadis riwayat Ahmad, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya dia duduk. Kalau marahnya belum juga hilang maka hendaknya dia berbaring."
Dalam hadis lain juga dikatakan, dianjurkan bagi seorang yang diliputi amarah untuk berwudhu. Alasannya, rasa marah itu datangnya dari setan, sementara setan diciptakan dari api. Jadi, air yang bisa memadamkan api.
Perlu diingat oleh seorang yang diliputi amarah bahwa marah menjadi senjata ampuh bagi setan untuk membinasakannya. Seorang yang diliputi marah akan dengan mudah dikendalikan oleh setan. seorang yang marah bisa dengan mudah mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, menghina, mencaci-maki, hingga kalimat talak yang mengakhiri rumah tangganya.
Karena marah pula, ia merusak semua yang ada di sekitarnya. Ia bisa membanting piring, melempar gelas, memukul, bahkan sampai pada tindak pembunuhan. Di saat itulah, misi setan untuk merusak manusia tercapai.
Untuk itulah, seorang yang marah dianjurkan untuk banyak membaca kalimat ta’awuz a'udzubillahi minasy syaithanirrajiim. Sebagaimana hadis dari Sulaiman bin Surd yang menceritakan, "Suatu hari saya duduk bersama Nabi SAW. Ketika itu, ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya, wajahnya telah merah karena diliputi marah. Melihat hal itu, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini maka marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awuz a’udzu billahi minas syaithanir rajiim. marahnya akan hilang.’" (HR Bukhari dan Muslim).