Jumat 11 Jan 2019 10:15 WIB

Kasus Qunun Dorong Perlawanan Sistem Perwalian Pria di Saudi

Setiap perempuan Saudi harus memiliki wali laki-laki untuk membuat keputusan.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Perempuan Arab Saudi
Foto: bikyamasr.com
Perempuan Arab Saudi

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Kasus Rahaf Mohammed al-Qunun (18 tahun) yang melarikan diri dari keluarganya telah mendorong perlawanan terhadap sistem perwalian pria di Saudi. Sistem tersebut masih menjadi kendala utama pada perempuan Saudi meskipun ada upaya dari negara Muslim yang konservatif itu untuk membuka diri.

Beberapa kebebasan telah diberikan kepada perempuan Saudi di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Ia mengakhiri larangan mengemudi bagi perempuan, mengurangi pembatasan pencampuran gender, dan mengizinkan perempuan untuk bertugas di angkatan bersenjata.

Namun, perubahan itu disertai dengan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat. Penangkapan dan dugaan penyiksaan dialami beberapa aktivis yang berkampanye selama beberapa dekade untuk memperjuangkan hak-hak perempuan serta pengkhutbah Muslim yang menentang kebijakan baru Saudi.

Banyak aktivis yang menyerukan diakhirinya sistem perwalian. Sistem ini telah dikurangi secara perlahan selama bertahun-tahun, tetapi masih tetap berlaku.

Di bawah sistem tersebut, setiap perempuan Saudi harus memiliki wali laki-laki yang diperlukan persetujuannya jika ia akan menikah, memperoleh paspor, dan bepergian ke luar negeri. Wali tersebut biasanya ayah atau suami, tetapi bisa juga paman, saudara laki-laki, atau bahkan putra kandung.

Nasib Qunun yang menyelinap pergi dari keluarganya akhir pekan lalu dari Kuwait mengingatkan dunia pada kasus-kasus perempuan Saudi lainnya yang melarikan diri dari penganiayaan. Mereka yang secara paksa kembali ke kerajaan, tidak pernah terdengar kabarnya lagi.

Di beberapa negara, perempuan seusia Qunun boleh meminta pihak berwenang agar tidak memberi tahu keluarganya apa pun tentang dirinya. Di Arab Saudi, jenis kelaminnya membuat nasibnya berada di tangan ayahnya.

"Hapus perwalian dan kami tidak akan bermigrasi," tulis sejumlah pengguna Twitter, pekan ini, di Arab Saudi.

Mai (36 tahun), seorang warga Saudi yang berprofesi sebagai dokter, mengatakan, dia malu karena telah memiliki dua anak dan mendapatkan gelar sarjana dari Universitas Harvard, tetapi masih dipandang sebagai anak di bawah umur.

“Saya dipercaya untuk membuat keputusan hidup dan mati bagi pasien, dipercaya untuk membesarkan anak-anak ... tetapi tidak dipercaya untuk membuat keputusan sendiri mengenai kehidupan SAYA. Ironisnya! #EndMaleGuardianship," tulis Mai di Twitter.

Sistem perwalian yang berada di antara hukum dan adat istiadat menjadi masalah pelik bagi Pangeran Mohammed. Tahun lalu, ia mengindikasikan bahwa lebih suka mengakhiri sistem itu, tetapi kemudian ia tidak menindaklanjutinya.

"Jika saya menjawab ya untuk pertanyaan ini, berarti saya menciptakan masalah bagi keluarga yang tidak ingin memberikan kebebasan bagi putri mereka," kata dia kepada majalah AS, The Atlantic.

Tanpa sistem hukum yang dikodifikasikan dalam teks untuk membentuk hukum syariah atau hukum Islam, polisi dan pengadilan Saudi telah lama menegakkan larangan tertentu terhadap perempuan. Banyak aspek perwalian berasal dari praktik informal dan bukan dari undang-undang khusus.

Arab Saudi berada di peringkat 138 dari 144 negara di Global Gender Gap 2017, sebuah studi Forum Ekonomi Dunia tentang bagaimana kaum perempuan berperan dalam partisipasi ekonomi dan politik, serta kesehatan dan pendidikan. Aktivis meluncurkan kampanye “I Am My Own Guardian” pada 2016 untuk menggugat sistem perwalian.

Raja Salman mengeluarkan perintah pada tahun berikutnya yang memungkinkan perempuan untuk mendapat manfaat dari layanan, seperti pendidikan dan perawatan kesehatan tanpa persetujuan wali laki-laki. Meski demikian, kelompok hak asasi mengatakan perintah itu dilaksanakan hanya secara terbatas.

Pihak berwenang Saudi juga telah menghapus pembatasan terhadap perempuan dalam sektor tenaga kerja dan mengakhiri persyaratan formal bagi mereka untuk mendapatkan izin wali untuk bekerja. Namun, beberapa perusahaan masih menuntut izin wali dan tidak dihukum karena melakukannya.

Saudi juga mengakhiri persyaratan bahwa seorang perempuan harus membawa wali untuk mengidentifikasinya di pengadilan. Perempuan juga dapat memperoleh lisensi dan mengendarai mobil tanpa persetujuan wali mereka.

Mohammed al-Issa, mantan menteri kehakiman yang duduk di badan ulama kerajaan, mengatakan kepada Reuters tahun lalu bahwa tidak ada alasan mengapa perempuan harus dilarang mendapatkan paspor atau bepergian tanpa persetujuan dari wali laki-laki. Menurut dia, masyarakat membutuhkan waktu untuk menerimanya.

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement