REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Di lapangan, Delfina Dimoski telah gagal melawan pemerkosaan, hukuman mati, dan pelecehan verbal. Bahkan setelah menyelesaikan tugasnya sebagai pertandingan sepak bola, ia dikuntit dan dilecehkan di media sosial atas keputusan yang dibuatnya.
Pelecehan terus-menerus, dalam 11 tahun tugas sebagai wasit, telah memberinya mental baja. Akan tetapi, dalam beberapa musim terakhir, ancaman kekerasan telah membuatnya takut untuk melakukan pekerjaannya, dan membuatnya mempertimbangkan untuk berhenti dari pertandingan yang ia sukai.
"Sedihnya, saya menjadi sasaran karena jenis kelamin dan etnis saya, dengan beberapa penghinaan yang sangat vulgar," katanya.
" 'Kembali ke dapur', 'perempuan tak terlibat dalam sepakbola pria'."
Penganiayaan itu tak hanya berlangsung di lapangan. Ia juga diteriaki oleh staf pelatih dan supporter.
"Saya dikuntit dan saya telah diancam, tidak hanya secara langsung dan dalam pertandingan, tetapi juga di media sosial," katanya.
"Saya cukup terguncang, itu membawa saya ke titik di mana saya ingin mundur sebagai wasit sepak bola."
"Sangat sulit untuk memproses mengapa seseorang mengatakan itu kepada Anda ketika Anda baru saja berpartisipasi dalam olahraga yang Anda sukai."
Mendepak perempuan
Dimoski mengatakan pelecehan gender mempersulit rekrutmen wasit perempuan di Canberra, di mana Capital Football mengelola kompetisi di Australia tersebut. Ia mengatakan, menjadi suara yang seringkali tidak populer di lapangan begitu cukup sulit, terlepas dari urusan gender.
"Sedihnya bagi perempuan, karena kita sudah menjadi minoritas di dalam minoritas, itu sangat menantang," katanya.
Ia mengatakan, tak hanya sulit untuk membuat perempuan menjadi wasit, tetapi juga untuk mempertahankan mereka begitu mereka masuk.
"Sangat sulit bagi kami untuk mempertahankan wasit perempuan kami," katanya.
"Kami baru-baru ini mensurvei anggota kami dan anggota kami mengatakan alasan mengapa perempuan hengkang adalah karena pelecehan yang mereka hadapi."
Dalam upaya untuk menarik lebih banyak wasit perempuan, satu-satunya kursus perempuan diselenggarakan oleh Capital Football, yang memungkinkan seluruh 27 peserta memenuhi syarat untuk mendapat kursus secara gratis.
Dimoski akan menjadi bagian dari proses itu, tetapi mengatakan pendidikan adalah kunci untuk mengubah perilaku dan mempertahankan wasit.
"Mendidik pemain bahwa berperilaku seperti ini tidak baik," katanya.
"Tak bisa diterima di masyarakat, jadi mengapa itu bisa diterima di lapangan?."
Menjadi teladan generasi berikutnya
Setelah 11 tahun bertugas sebagai wasit, Alex McConachie telah melihat dan mendengar segala macam pelecehan. Ia sekarang memimpin komite penasihat wasit dan juga wasit di kompetisi lokal, tetapi ia berulang kali melihat wasit muda meninggalkan pekerjaan itu karena perilaku pelatih dan penonton.
"Kami kehilangan wasit di pertandingan kami karena insiden yang seharusnya tidak terjadi," katanya.
Alex mengatakan ia yakin para pemain yang lebih muda mendapat teladan buruk dari beberapa perilaku yang mereka lihat di sekitar mereka.
"Kami melihat pelatih memberikan contoh buruk bagi para pemain mereka," katanya.
"Para pemain memelajari perilaku ini dari pelatih mereka."
Aturan baru
Sebelum final musim lalu, wasit merasa sudah cukup muak, seraya mengatakan pelecehan telah mencapai titik puncaknya. Sekitar 40 wasit menghadiri dua pertemuan di mana mereka mengutarakan keluhan mereka.
"Musim lalu ada peningkatan persentase penyalahgunaan klaim terhadap wasit yang masuk ke Capital Football," kata Dimoski.
"Badan wasit berkomunikasi aktif dengan Capital Football dan pada dasarnya harus ada perubahan ke depan." Kini, benar akan ada perubahan.
Laporan Capital Football tentang wasit yang dirilis pada Jumat (11/1) akan membuat rekrutan baru mendapatkan lebih banyak dukungan di dalam dan di luar lapangan. Wasit akan bisa mengakses petugas kesejahteraan untuk berbicara tentang pengalaman mereka di pekerjaan, serta pejabat klub untuk dukungan di lapangan.
"Menurutnya itu adalah langkah maju yang besar, titik sentral bagi wasit untuk menghubungi seseorang," kata Dimoski.
"Jika mereka dilecehkan pada akhir pekan, mereka bisa mengangkat telepon dan pada dasarnya menghubungi langsung seseorang yang akan berada di sana untuk mendengarkan dan membantu mendukung mereka melalui proses tersebut."
Hukuman juga telah diberlakukan dalam Liga Primer Nasional laki-laki dan perempuan untuk perbedaan pendapat terhadap wasit oleh pemain dan pelatih. Staf pelatih kini bisa mendapat kartu kuning dan merah, sementara pemain bisa dikirim ke kursi pelanggar selama 10 menit karena menganiaya wasit. Pelanggar kedua kalinya akan ditendang dari lapangan.
Chief Executive Capital Football, Phil Brown, mengatakan ia berharap perubahan akan membantu menarik dan mempertahankan wasit.
"Jika Anda melihat analisis data mengapa wasit meninggalkan pertandingan, alasan utama selalu adalah pelecehan verbal yang mereka terima dari pemain atau pelatih," katanya.
"Menciptakan lingkungan yang ramah untuk mencoba membantu kami merekrut dan mempertahankan wasit, khususnya wasit perempuan yang telah meninggalkan pertandingan ini dengan rasio yang lebih tinggi daripada pria."
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
Ikuti berita-berita lainnya di situs ABC Indonesia.