REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak turun pada akhir perdagangan Jumat (11/1), menghentikan reli selama sembilan hari berturut-turut. Penurunan harga minyak tertekan oleh menguatnya greenback dan kemerosotan saham-saham energi akibat kekhawatiran penutupan pemerintah AS yang sedang berlangsung.
Minyak mentah berjangka melemah bersama dengan penurunan sektor energi di 11 sektor utama S&P 500, yang menyebabkan penurunan sekitar 0,58 persen. Kinerja hangat dari minyak mentah berjangka dan saham-saham energi terjadi ketika penutupan pemerintah AS telah berlangsung selama tiga pekan dan tidak menunjukkan tanda-tanda berakhir.
Para analis dan investor telah mengaktifkan mode risk-off (penghindaran risiko) dan menjadi lebih berhati-hati tentang memegang aset-aset berdenominasi dolar AS. Dalam hal itu, karena dolar AS melambung pada perdagangan Jumat (11/1), minyak mentah menjadi lebih tidak menguntungkan karena lebih mahal bagi para pedagang dan investor.
Namun, baik minyak mentah WTI maupun Brent membukukan kenaikan mingguan untuk pekan kedua berturut-turut. Harga minyak mentah AS naik hampir delapan persen dan Brent naik sekitar enam persen.
Mengimbangi dampak politik yang merugikan, jumlah rig pengeboran minyak di Amerika Serikat turun empat rig, penurunan mingguan kedua, karena meningkatnya kehati-hatian di antara produsen minyak dalam rencana pengeboran mereka untuk 2019, menurut perusahaan jasa energi AS Baker Hughes pada Jumat (11/1). Minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari turun satu dolar AS menjadi menetap pada 51,59 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Sementara itu, patokan global, minyak mentah Brent untuk pengiriman Maret jatuh 1,2 dolar AS. Harga Brent menjadi ditutup pada 60,48 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.