REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Penelitian kriminologi mengungkapkan, bahwa pelanggar yang memiliki nama Muslim tidak tampak menerima hukuman yang tidak adil dari Pengadilan Kerajaan (Crown Court) di Inggris dan Wales.
Penelitian para akademisi di Universitas Leeds, Oxford, dan Edinburgh mempertanyakan sejauh mana diskriminasi dalam sistem peradilan pidana dan menyerukan publikasi dari data resminya.
Temuan mereka diterbitkan pada Selasa (8/1) lalu. Tampaknya, temuan mereka bertentangan dengan statistik yang diterbitkan Kementerian Kehakiman tentang ras dalam sistem peradilan pidana dan ulasan Lammy 2017.
Ulasan Lammy menemukan penggunaan hukuman yang lebih tinggi berupa hukuman penjara yang lebih lama untuk tertuduh etnis kulit hitam dan minoritas tertentu daripada untuk pelanggar kulit putih.
Satu gambaran yang dilaporkan Lammy adalah keengganan para terdakwa kulit hitam untuk mengaku bersalah di awal persidangan karena ketidakpercayaan dalam sistem. Hal itu mengakibatkan mereka kehilangan kesempatan untuk mengurangi hukuman.
Laporan terbaru dalam British Journal of Criminology mengeksploitasi 'teknik pencacahan data' berdasarkan 8.437 audiensi antara 2007 dan 2017. Penelitian melibatkan para terdakwa yang dianggap memiliki nama Muslim tradisional.
Menurut laporan itu, pelanggar yang memiliki nama Muslim menerima hukuman penjara 9,8 persen lebih lama dari sampel lainnya. Tetapi, perbedaan itu menghilang setelah rincian yang lebih detail oleh pelanggaran individu dan karakteristik kasus utama seperti permohonan yang diperhitungkan.
Variabel yang dinilai para peneliti juga termasuk apakah korban mengalami luka-luka, apakah ada faktor yang meringankan atau banyak pelanggaran. Oleh karena itu, laporan mengatakan bahwa perbedaan dalam hukuman antara kelompok etnis disebabkan praktik diskriminasi yang murni atau perbedaan dalam jenis kejahatan yang dilakukan adalah tidak pasti.
Sejumlah penulis, Dr Jose Pina-Sánchez dari Leeds, Prof Julian Roberts dari Oxford dan Dimitrios Sferopoulos dari Edinburgh, mengatakan temuan ini tidak boleh diambil sebagai bukti konklusif dari kurangnya diskriminasi dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar Muslim.
Roberts, seorang profesor kriminologi, sebelumnya adalah anggota Dewan Hukuman, yang menerbitkan pedoman hukuman bagi para hakim.
Seorang dosen hukum di University of Leeds, Pina-Sánchez, mengatakan temuan mereka bukan bukti konklusif dari perlakuan yang sama. Akan tetapi, mereka memang menyoroti pentingnya mempertimbangkan karakteristik kasus sebelum mengklaim adanya diskriminasi.
"Analisis kami menemukan bahwa perbedaan yang diamati dalam panjang hukuman antara pelanggar Muslim dan non-Muslim dijelaskan oleh karakteristik kasus. Oleh karena itu, penting untuk mereplikasi analisis kami di semua pelanggar yang diproses melalui pengadilan dan mahkamah," kata Sanchez, dilansir di The Guardian, akhir pekan lalu.
Ia mengatakan, data itu belum sepenuhnya diungkapkan kepada publik. Tetapi, kata dia, ada berbagai strategi berbagi data yang dapat digerakkan untuk memfasilitasi data bagi peneliti independen dengan cara yang aman.
"Yang mendasari prinsip keadilan adalah gagasan bahwa kita semua diperlakukan sama, dan jika bukan itu masalahnya kita harus mempertimbangkan reformasi serius dalam sistem untuk menangani masalah ini secara langsung," tambahnya.
Seorang juru bicara Kementerian Kehakiman mengatakan, tahun ini mereka mulai menerbitkan statistik hukuman dengan pelanggaran dan etnis. Sehingga, mereka dapat mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan dalam sistem peradilan pidana dengan lebih baik.