REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Achmad Heri Firdaus mengatakan, banyak pekerjaan rumah pemerintah untuk membenahi industri gula dalam negeri guna mengurangi impor di periode mendatang. Di antaranya memberikan insentif pada petani dan meningkatkan produksi gula.
Untuk insentif petani, Heri menjelaskan, dapat diberikan melalui perluasan area lahan maupun meningkatkan kualitas mesin giling. Tujuannya, agar mereka mampu menghasilkan rendemen lebih tinggi dari saat ini yang mencapai 7 hingga 7,5 persen. "Insentif misalnya dengan memberikan bantuan investasi di segi peralatan," ujarnya ketika ditemui usai Konferensi Pers Indef Manisnya Rente Impor Gula di Jakarta, Senin (14/1).
Dari sisi industri, pemerintah sebaiknya membantu meningkatkan kapasitas produksi gula dengan revitalisasi pabrik gula. Terlebih, jumlah pabrik kini banyak yang tidak efisien sehingga produksi lokal tidak mengalami peningkatan signifikan, sementara konsumsi terus meningkat.
Cara lain, Heri menjelaskan, pemerintah memberikan kewajiban bagi pengusaha importir gula untuk membangun pabrik gula dengan kualitas yang mampu memenuhi kebutuhan industri. Upaya ini dapat menajdi solusi jangka panjang agar tiap tahun tidak terjadi importasi gula. "Terlebih, trennya meningkat tiap tahun," katanya.
Sembari menunggu perbaikan, pemerintah masih bisa untuk impor. Tapi, Heri menekankan, harus ada aturan yang transparan seperti penetapan kuota dan pertimbangannya secara jelas. Pemerintah juga harus mempertimbangkan kemampuan produksi dalam negeri sehingga tidak berlebihan dan menimbulkan stok menumpuk.
Kemudian, pemerintah juga harus mempertimbangkan aspek harga dunia. Saat ini, menurut catatan World Bank, harga gula dunia Rp 4.000 per kilogram yang dengan mempertimbangkan aspek asuransi, distribusi dan sebagainya, sehingga memiliki harga Rp 7.000 per kilogram. "Tapi, di pasaran, gula dijual dengan harga Rp 12ribu per kilogram. Apakah keuntungan itu sudah pas?" ucap Heri.
Menurut Heri, permasalahan neraca tidak hanya terjadi pada gula, juga komoditas strategis lain seperti beras dan garam. Komoditas ini seharusnya dapat dibangun, tapi belum maksimal karena ada celah impor yang membuat seakan-akan pelaku usaha lebih mudah untuk mengimpor dibanding menggunakan produk lokal.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan, intensitas kegiatan impor gula oleh pemerintah Indonesia yang tinggi sudah terlihat sejak 2009. Tapi, peningkatan signifikan baru terjadi pada 2016. Tren ini tergambarkan dari data Badan Pusat Statistik dan United States Department of Agriculture sampai Oktober 2018.
Faisal mengatakan, puncak peningkatan impor gula terjadi pada tahun lalu. Saat itu, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara pengimpor gula terbesar sedunia menurut USDA dalam portal statistik, Statica. "Kita melampaui Cina dan Amerika," ujarnya dalam konferensi pers Indef bertajuk Manisnya Rente Impor Gula di Jakarta.
Sementara itu, Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengatakan, Indonesia memang tidak dapat mengelak dari impor gula mentah. Sebab, masih terjadi kesenjangan antara kebutuhan konsumsi dengan produksi gula dalam negeri.
Soemitro mencatat, produksi gula dari petani lokal mencapai 2,2 juta ton, sedangkan kebutuhan masyarakat Indonesia per tahunnya adalah 2,6 juta ton sampai 2,8 juta ton. "Jadi, kita tidak bisa mengelak kalau kita masih butuh impor," tuturnya saat dihubungi Republika, Senin (14/1).
Tapi, Soemitro menambahkan, yang menjadi permasalahan saat ini adalah waktu impor. Pemerintah kerap kali memberikan izin impor gula pada waktu yang tidak tepat, yakni saat panen. Hal ini pernah terjadi pada awal 2018, ketika stok dari tahun 2017 masih tersisa 1,2 juta ton, sedangkan pemerintah memutuskan untuk impor.