REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pemerintah Arab Saudi membantah laporan tentang rencananya membuka kembali kedutaan besarnya di Suriah. Bantahan muncul setelah beberapa situs berita di sana melaporkan bahwa Riyadh akan membuka kedutaanya di Damaskus pada Kamis (17/1).
"Pernyataan-pernyataan itu benar-benar keliru," kata Kementerian Luar Negeri Saudi pada Senin (14/1), dikutip laman Anadolu Agency.
Kendati demikian, Kementerian Luar Negeri Saudi tak menjelaskan apakah mereka betul-betul akan membuka kembali kedutaan besarnya di Damaskus. Bulan lalu, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain telah mengumumkan rencana membuka kembali kedutaan besarnya di Suriah selah ditutup selama tujuh tahun.
Pengumuman itu dianggap menjadi perintis bagi pemulihan hubungan antara Suriah dan negara-negara Arab. UEA dan Bahrain diketahui memihak kubu oposisi dalam konflik Suriah.
Pada Desember tahun lalu, Presiden Sudan Omar al-Bashir juga telah berkunjung ke Damaskus dan bertemu Presiden Suriah Bashar al-Assad. Dia menjadi pemimpin negara anggota Liga Arab pertama yang mengunjungi Suriah sejak negara itu dilanda konflik sipil pada 2011.
Mesir dan Tunisia dilaporkan telah mendiskusikan tentang kemungkinan mengundang Assad dalam KTT Liga Arab ke-33 yang dihelat di Tunis pada Maret mendatang. Informasi tersebut tersiar setelah Menteri Luar Negeri Tunisia Khemaies Jhinaoui bertemu Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi di Kairo awal bulan ini.
“Kunjungan menteri (luar negeri) Tunisia ke Kairo datang atas permintaan pihak Mesir untuk menyelesaikan masalah partisipasi rezim Assad dalam KTT Liga Arab ke-33 dan membahas cara-cara mengimplementasikan hal ini setelah (mendapat) persetujuan dari negara-negara Arab lainnya,” kata beberapa sumber diplomatik, dikutip laman Al Araby.
Suriah didepak dari Liga Arab tak lama setelah konflik sipil pecah di negara tersebut pada 2011. Negara anggota Liga Arab juga mengecam Assad karena gagal bernegosiasi dengan pihak oposisi dan mengerahkan kekuatan militer yang dianggap brutal.