REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat perilaku konsumen Yusowhady menilai, menurunnya kekuatan ritel yang hanya memanfaatkan toko sebagai tempat berjualan atau dikenal sebagai ritel tradisional sudah terlihat sejak 2017. Saat itu, pusat perbelanjaan seperti Glodok dan Roxi mulai sepi. Gerai Matahari dan Ramayana yang biasa dipenuhi konsumen pun tutup secara bertahap.
Redupnya kekuasaan ritel tidak hanya berlaku pada perusahaan lokal. Peritel global seperti H&M, Lotus hingga Dabenhams menghentikan operasinya. Menurut Yuswohady, ada dua kekuatan disruptif yang menyapu sektor ritel tradisional. "Disrupsi digital dan pergeseran preferensi konsumen," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (15/1).
Disrupsi digital memicu munculnya ecommerce yang saat ini telah menjadi semakin mainstream. Ada tiga nilai yang ditekankan platform ini sehingga mampu mengubah perilaku belanja konsumen dari offline ke online. Nilai tersebut adalah convenience (kenyamanan), cost (biaya lebih murah) dan time-efficient (efisiensi dari segi waktu).
Yuswohady mengatakan, disrupsi ini tidak bisa terhindarkan, terutama ketika Indonesia percaya diri masuk ke era Revolusi Industri 4.0. Era itu menghasilkan perubahan supercepat dan disruptif, termasuk ritel tradisional yang dibilas oleh ecommerce.