Rabu 16 Jan 2019 15:23 WIB

Palestina Kembali Ajukan Diri Jadi Anggota Penuh PBB

Amerika Serikat diprediksi memveto rencana keanggotaan Palestina.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Bendera Palestina berkibar untuk pertama kalinya di Markas PBB, New York, Rabu (30/9).  (AP Photo/Seth Wenig)
Bendera Palestina berkibar untuk pertama kalinya di Markas PBB, New York, Rabu (30/9). (AP Photo/Seth Wenig)

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Palestina akan kembali mengajukan diri untuk menjadi anggota penuh PBB. Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki pada Selasa (15/1) mengatakan, tawaran itu akan dilanjutkan meskipun Amerika Serikat (AS) akan memveto rencana keanggotaan Palestina.

"Kami tahu kami akan menghadapi veto AS tetapi itu tidak akan menghalangi kami untuk melakukan pengajuan," kata Al-Maliki kepada wartawan, dikutip Aljazirah.

Dia menambahkan, Palestina akan mulai melobi anggota Dewan Keamanan PBB (DK PBB) dalam beberapa minggu mendatang. Palestina telah mengajukan permohonan untuk menjadi anggota penuh PBB pada 2011, tetapi pengajuan itu tidak pernah sampai ke DK PBB untuk diputuskan dalam pemungutan suara.

Atas upaya itu, status Palestina ditingkatkan dari entitas pengamat non-anggota menjadi negara pengamat non-anggota. Status tersebut memungkinkan Palestina untuk menjadi penandatanganan perjanjian yang diajukan sekretaris jenderal PBB.

Menurut Kementerian Luar Negeri Palestina, sejak itu Palestina telah bergabung dengan lebih dari 50 organisasi dan perjanjian internasional. Salah satunya adalah Pengadilan Pidana Internasional (ICC) dan badan warisan PBB, UNESCO.

Pada 2017, Interpol juga menyetujui keanggotaan Otoritas Palestina. Persetujuan ini menjadi kemenangan bagi Palestina dalam upaya untuk memiliki perwakilan internasional meskipun ada tentangan kuat dari Israel.

Pada Selasa (15/1), Presiden Palestina Mahmoud Abbas menjadi pemimpin Kelompok 77 (G-77), blok terbesar PBB di negara-negara berkembang. Posisi itu tentu meningkatkan posisi internasional Palestina secara signifikan.

Dalam pidatonya, Abbas mengatakan Israel telah menghambat pembangunan di Timur Tengah. Ia juga kembali menegaskan komitmennya untuk solusi dua negara.

"Kolonisasi dan pendudukan Israel yang terus menerus atas negara Palestina telah merusak pembangunan dan kapasitas kami untuk bekerja sama dan berkoordinasi, serta menghalangi perkembangan masa depan yang kohesif dari semua negara di wilayah itu," kata Abbas.

"Saya berkomitmen untuk solusi damai yang mengakhiri pendudukan dan realisasi kemerdekaan negara Palestina dengan wilayah pendudukan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, hidup berdampingan secara damai dan aman dengan negara Israel," ungkap dia.

Dalam beberapa tahun terakhir, Yerusalem telah menjadi inti konflik antara Palestina dan Israel, setelah keputusan Presiden AS Donald Trump pada Desember 2017 untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Trump juga memindahkan Kedutaan Besar AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Beriringan dengan keputusan itu, Trump memutuskan dengan konsensus internasional bahwa status kota tersebut akan diputuskan dalam negosiasi. Namun keputusannya tetap memicu kemarahan internasional.

Abbas kemudian memutuskan hubungan dengan pemerintahan Trump. Ia bersumpah akan menentang setiap rencana perdamaian AS yang diduga akan bias dalam mendukung Israel.

Di bawah kepemimpinan Trump, AS juga telah memotong dana bantuan ratusan juta dolar untuk program-program PBB yang menguntungkan Palestina. Salah satunya adalah dana bagi badan PBB untuk para pengungsi Palestina (UNRWA), yang terpaksa mengurangi program pendidikan dan kesehatannya.

Majelis Umum PBB tahun lalu mengadopsi resolusi yang memberikan hak tambahan bagi Palestina sebagai negara pengamat non-anggota, untuk bertindak sebagai ketua G77. AS menentang langkah itu, dengan alasan Palestina tidak boleh diizinkan memimpin karena bukan negara anggota penuh.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement