REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan I Gusti Ketut Astawa melihat penutupan sejumlah gerai oleh ritel merupakan hal wajar. Sebab, selayaknya dunia usaha dan bisnis, terjadi dinamika yang tidak dapat selalu ditebak.
Astawa menjelaskan, untuk fenomena beberapa ritel di Indonesia selama dua tahun terakhir tidak dapat disamaratakan penyebabnya. Ia harus melihat berdasarkan kasus per ritel. "Entah itu karena daya beli masyarakat yang memang rendah atau penurunan kinerja industri, harus ditelaah lagi," ucapnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (16/1).
Astawa mengakui, saat ini, persaingan bisnis ritel semakin ketat karena dua faktor. Pertama, pembangunan pusat perbelanjaan yang terus terjadi di berbagai daerah dari kota besar hingga kota kecil. Kondisi ini menyebabkan ritel harus memilih secara selektif, lokasi mana yang terbaik untuk mengembangkan bisnis mereka.
Faktor kedua, kehadiran perdagangan elektronik atau e-commerce yang menawarkan kecepatan, kemudahan dan kenyamanan. Meski saat ini pertumbuhannya masih kecil, Astawa menuturkan, perkembangan e-commerce akan terus positif sepanjang tahun.
Agar dapat bertahan di tengah persaingan ritel, Astawa menjelaskan, pengusaha harus melakukan inovasi secara terus menerus. Khususnya dengan memanfaatkan market place yang kini sudah semakin menjamur. Baru sebagian peritel modern yang telah masuk ke ranah online.
Selain itu, Astawa menambahkan, pengusaha ritel tetap harus membuka offline store di daerah-daerah yang memang sesuai dengan pangsa pasar mereka. "Kini, mereka harus mempertimbangkan untuk menawarkan strategi omnichannel, yaitu memadukan offline dan online," tuturnya.
Baca juga, Bergugurannya Toko-Toko Ritel Kami.
Astawa memastikan, pemerintah akan terus mendorong pertumbuhan industri ritel. Di antaranya melalui online single submission (OSS) yang dapat memudahkan usaha mereka dan melakukan pengawasan serta pembinaan sumber daya manusia (SDM).
Sementara itu, Pengamat perilaku konsumen Yusowhady menilai, menurunnya kekuatan ritel yang hanya memanfaatkan toko sebagai tempat berjualan atau dikenal sebagai ritel tradisional sudah terlihat sejak 2017. Saat itu, pusat perbelanjaan seperti Glodok dan Roxi mulai sepi. Gerai Matahari dan Ramayana yang biasa dipenuhi konsumen pun tutup secara bertahap.
Redupnya kekuasaan ritel tidak hanya berlaku pada perusahaan lokal. Peritel global seperti H&M, Lotus hingga Dabenhams menghentikan operasinya. Menurut Yuswohady, ada dua kekuatan disruptif yang menyapu sektor ritel tradisional. "Disrupsi digital dan pergeseran preferensi konsumen," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (15/1).
Disrupsi digital memicu munculnya e-commerce yang saat ini telah menjadi semakin mainstream. Ada tiga nilai yang ditekankan platform ini sehingga mampu mengubah perilaku belanja konsumen dari offline ke online. Nilai tersebut adalah convenience (kenyamanan), cost (biaya lebih murah) dan time-efficient (efisiensi dari segi waktu).
Yuswohady mengatakan, disrupsi ini tidak bisa terhindarkan, terutama ketika Indonesia percaya diri masuk ke era Revolusi Industri 4.0. Era ini menghasilkan perubahan supercepat dan disruptif, termasuk ritel tradisional yang dibilas oleh ecommerce.
Faktor kedua, pergeseran preferensi konsumen dari konsumsi berbasis produk ke konsumsi berbasis pengalaman, terutama di kalangan milenial. Tren ini membuat masyarakat memutuskan mengurangi belanja barang di sejumlah ritel secara perlahan, seperti baju, sepatu atau tas. "Mereka beralih ke traveling ke tempat baru," tutur Yuswohady.