REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia entan mengalami bencana karena posisinya berada di wilayah “cincin api pasifik”. Sebagai bentuk kesiapsiagaan bencana, sejumlah langkah telah dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) seperti mendorong penerapan building code, pembangunan rumah tahan gempa, pembangunan Tempat Evakuasi Sementara (TES) dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai zona evakuasi.
Pembangunan TES dilakukan Kementerian PUPR bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dibeberapa daerah yang memiliki risiko bencana tsunami yang tinggi. Pada tahun 2014-2015 telah menyelesaikan konstruksi 12 TES dengan desain teknis dari BNPB.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan dan pemeliharaan TES, Kementerian PUPR telah menghibahkan ke-12 TES tersebut menjadi aset Pemerintah Daerah (Pemda) pada tahun 2017. Dengan harapan TES dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesiapsiagaan daerah mengantisipasi potensi bencana tsunami seperti penggunaan TES dalam simulasi kesiapsiagaan bencana.
Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas mengenai Peningkatan Kesiagaan Menghadapi Bencana, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (14/1) siang meminta agar dilakukan simulasi latihan penanganan bencana secara berkala dan berkesinambungan secara rutin.
Pembangunan 12 TES ini juga menjadi percontohan bagi Pemda lainnya untuk memiliki fasilitas serupa didaerahnya menjalankan upaya preventif untuk meminimalisir jumlah korban jiwa dan luka-luka.
“Bencana tsunami yang terjadi di Sulawesi Tengah, Banten dan Lampung menjadi pelajaran yang berharga bagi Indonesia bahwa perencanaan dan kesiapan infrastruktur dan kesiagaan masyarakat mengantisipasi potensi bencana harus dievaluasi untuk ditingkatkan di seluruh Indonesia,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono beberapa waktu lalu.
Bangunan TES ini bukan untuk tempat evakuasi akhir, namun sebuah fasilitas umum yang dapat dijangkau oleh para penyintas (survivor) dalam beberapa menit setelah peringatan terjadinya tsunami diumumkan sehingga berlokasi tidak jauh dari pantai (minimal 500 meter). Bangunan juga disyaratkan menggunakan konstruksi tahan gempa, karena kejadian tsunami pada umumnya didahului dengan gempa bumi dan kemungkinan gempa susulan.
Desainnya juga telah mempertimbangkan kondisi khas yang dihadapi pada masing-masing lokasi, ketersediaan lahan, kapasitas orang yang perlu ditampung, serta perkiraan ketinggian arus air maupun inundasi yang mungkin terjadi di kawasan tersebut.
Berbeda dengan bangunan umumnya, TES tidak memiliki dinding-dinding pemisah atau pagar yang dimaksudkan agar bisa secara mudah diakses oleh masyarakat pada saat terjadi tsunami. Dinding permanen tidak diperkenankan agar tidak ada bidang-bidang yang menahan laju arus air yang berisiko menambah beban pada struktur bangunan dan agar mengurangi potensi debris bangunan akibat terjangan arus tsunami.
Sepuluh TES yang dibangun tahun 2014 yakni TES Kecamatan Koto Tangah I, Kota Padang, Sumatera Barat; TES Kecamatan Koto Tangah II Kota Padang, Sumatera Barat; TES Kelurahan Teluk Sepang, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu; TES Desa Rawa Indah, Kecamatan Ilir Talo, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu; TES Desa Labuhan, Kecamatan Labuhan, Kabupaten Pandeglang, Banten; TES Desa Muara, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Banten; TES Desa Bangsal, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat; TES Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh; dan TES Desa Serangan, Kota Denpasar, Bali.
Pada 2015, dibangun tiga TES yakni TES Desa Ulak Karang, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat; TES Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, Provinsi DI. Yogyakarta; dan TES Desa Pananjung, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat.
Meski dirancang sebagai tempat evakuasi, pada keadaan normal TES juga dapat digunakan sebagai balai pertemuan warga, tempat ibadah atau menara pandang.