Kamis 17 Jan 2019 12:01 WIB

Para Ahli Rekomendasikan Diet untuk Selamatkan Bumi

Pembatasan produk daging merah dan telur dinilai bisa selamatkan lingkungan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Diet (Ilustrasi)
Foto: Allwomenstalk
Diet (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Para ahli nutrisi, pertanian, dan lingkungan memberikan rekomendasi pola makan atau diet yang dapat menyelamatkan bumi. Dalam sebuah laporan para ahli merekomendasikan untuk mengurangi konsumsi daging merah dan memperbanyak kacang-kacangan.

Dalam penelitian sebelum-sebelumnya sudah diketahui daging merah dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit. Tapi dalam laporan terbaru ternyata pola makan manusia memiliki keterkaitan erat dengan lingkungan.

Produksi daging merah memerlukan lahan yang luas dan pakan untuk memelihara ternak, yang juga memancarkan metana gas rumah kaca. Dalam laporan itu para ahli menyarankan untuk makan daging merah cukup satu kali dalam satu minggu dan makan telur cukup empat kali dalam satu pekan.

Kepala kajian pencegahan penyakit Stanford University, John Ioannidis mengatakan ia menyambut baik tumbuhnya perhatian bagaimana pola makan memberikan pengaruh kepada lingkungan. Tapi menurutnya rekomendasi itu tidak mencerminkan bukti sainstifik yang dibutuhkan dalam kajian nutrisi dan kesehatan.

"Buktinya tidak sekuat yang seharusnya," kata Ioannidis, Kamis (17/1).

Laporan tersebut disusun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) EAT yang bermarkas di Stockholm, Swedia. Mereka mencari cara untuk memperbaiki sistem makanan. Laporan yang diterbitkan pada hari Rabu (16/1) kemarin dipublikasikan di jurnal medis Lancet.

Dalam laporan tersebut para ahli mendesak "Great Food Transformation atau Transformasi Besar Makanan" harus dilakukan pada 2050. Mereka menulis pola makan optimal yang mereka rekomendasikan cukup fleksibel untuk diterapkan di budaya kuliner di seluruh dunia. 

Secara keseluruhan rekomendasi itu mendorong konsumsi biji-bijian, buah, dan sayuran lebih banyak. Mengurangi gula tambahan, biji-bijian olahan seperti nasi putih serta membatasi konsumsi kentang dan singkong.

Para ahli mengatakan konsumsi rata-rata daging merah di seluruh dunia harus dipotong setengahnya. Pengurangan konsumsi daging merah ini bisa berbeda-beda di setiap kawasan atau negara. Tapi pengurangan konsumsi paling besar akan terjadi di negara-negara kaya seperti Amerika Serikat (AS).

Menyakinkan banyak orang untuk membatasi konsumsi daging, keju dan telur tidak akan mudah. Terutama di negara-negara di mana produk-produk tersebut sudah menjadi bagian budaya sehari-hari.

Di Sao Paulo, Brasil, seorang sistem analis Cleberson Bernardes mengatakan 'sangat konyol' untuk memintanya membatasi konsumsi daging merah satu minggu sekali. Di Berlin, Jerman, pengerajin kayu, Erik Langguth mengatakan ada cara lain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari pada meminta seluruh dunia mengurangi makan daging merah.

"Jika tidak ada daging, itu bukan makanan yang benar," kata Langguth, yang berasal dari wilayah yang terkenal dengan sosis bratwurstnya.

Walter Willet salah satu penulis laporan tersebut dan juga ahli nutrisi dari Harvard University mengatakan sebelum mempertimbangkan efeknya dengan lingkungan, laporan itu menggambarkan pola makan yang paling sehat. Willet mencontohkan telur tidak lagi dianggap meningkatkan risiko penyakit jantung tapi laporan yang ia tulis merekomendasikan sarapan dengan kacang-kacangan dan buah-buahan jauh lebih sehat.

Willet mengatakan rekomendasi ini tidak menyarankan seluruh dunia untuk menjadi vegan. Di sisi lain sekarang juga semakin banyak orang yang sudah mengurangi konsumsi daging merah.

"Pikirkan seperti lobster, sesuatu yang sangat saya sukai, tapi saya hanya memakannya beberapa kali dalam satu tahun," kata Willet.

Mengurangi makan daging merah bukan rekomendasi baru. Lemak jenuh yang dinilai buruk untuk kesehatan juga ada di keju, susu, kacang-kacangan, dan makanan kemasan yang mengandung minyak nabati. Laporan itu mencatat kebanyakan bukti hubungan pola makan dan kesehatan berasal dari Eropa dan AS.  

Di negara-negara Asia terbukti memakan daging unggas dan daging merah memiliki hubungan dengan panjangnya rentang hidup. Laporan itu menjelaskan kemungkinan karena masyarakat Asia memakan daging dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan negara-negara Eropa dan AS.

Ioannadis dari Stanford mengatakan penelitian tentang nutrisi seringkali berdasarkan observasi hubungan antara pola makan dengan kesehatan. Dalam penelitian-penelitian terdahulu sudah terbukti ternyata dalam banyak hal kedua hal tersebut tidak berkaitan.

Contohnya seperti diet kolesterol yang kini tidak lagi diyakini memiliki hubungan yang erat dengan kolesterol darah. Industri daging dan susu juga menentang rekomendasi tersebut, mereka mengatakan produk mereka sangat penting bagi tubuh dan menjadi bagian pola makan yang sehat.

Peneliti epidemiologi nutrisi dari McMaster University, Andrew Mente memperingatkan agar berhati-hati sebelum menyebarkan rekomendasi ini ke seluruh dunia. Karena menurutnya dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.  

Tapi para penulis laporan EAT di Lancet mengatakan secara keseluruhan mengurangi makan daging merah dan mengubah pola makan dapat mengoptimalkan kesehatan. Mereka mencatat rekomendasi ini cocok dengan panduan pola makan AS yang mana menyarankan untuk mengurangi kalori sebesar 10 persen. 

Laporan mengatakan negara-negara miskin yang mendapat manfaat dalam mengkonsumsi daging merah dan susu tidak perlu mengikuti rekomendasi ini untuk beberapa tahun kedepan. PBB mengestimasi produk pangan bertanggung jawab atas 15 persen emisi gas rumah kaca.

Peneliti senior di CICERO Center for International Climate Research, Robbie Andrew mengatakan kemungkinan petani yang dapat memperbesar hewan ternaknya lebih cepat dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. Tapi, ia menambahkan sapi dan hewan ternak lainnya memproduksi metana yang cukup besar.

"Sangat sulit menurunkan emisi alami karena sudah menjadi bagian dari biologi mereka," kata Andrew.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement