REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir menilai, aturan yang berlaku saat ini belum mampu untuk menjerat para pengguna jasa prostitusi.
Menurutnya salah satu muara dari permasalahan ini ada dalam penggunaan kata Pekerja Seks Komersial (PSK). Ia berpendapat, penggunaan kata 'pekerja' untuk menyebut para penyedia layanan seks itu justru membuat bisnis prostitusi legal secara terselubung.
"Jadi penggunaan terminologi itu maksudnya adalah untuk menghargai perempuan agar supaya lebih berharga dan tidak jadi bahan eksploitasi," kata Muzakir saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (16/1).
Baca juga, Polda Jatim Tetapkan VA Tersangka Prostitusi Artis.
Namun, lanjut Muzakir, penggunaan kata 'pekerja' dalam PSK justru dinilai akan menjerumuskan perempuan lebih jauh lagi, lantaran secara tidak langsung menyebut PSK sebagai profesi yang pantas untuk dijadikan sumber mata pencaharian.
Dia mengatakan, terminologi yang digunakan untuk menyebut pelaku prostitusi awalnya 'pelacuran', kemudian menjadi Wanita Tuna Susila (WTS) dan akhirnya berganti jadi PSK hingga saat ini.
Ia melihat, penggunaan terminologi PSK justru melegalisasi hubungan seks secara bebas dan berbayar. "Sebagai pekerja ya itu artinya 'profesi', hubungan mereka kontraktual, yang satu sebagai pengguna jasa yang satu sebagai pemberi layanan jasa seksual," kata dia.
Dia melanjutkan, ketika seseorang menggunakan jasa seksual yang sifatnya kontraktual, berdasarkan kesepakatan, maka dia tidak bisa dihukum.
Kalau dulu, kata ia, prostitusi bisa dilakukan penggerebekan dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Tapi prostitusi saat ini dilakukan secara privat dan online. "Jadi hubungan seks dikomersialkan," kata dia.
Muzakir menilai gerakan perempuan yang mengubah nama pelacur menjadi WTS kemudian jadi PSK, justru harus bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Ini karena telah menjerumuskan perempuan sebagai objek. "Pekerjaan itu jadi dibenarkan sepanjang dia bekerja, walaupun harus mengeksploitasi dirinya sendiri," kata dia.
Selain itu, kata dia, jasa seksual yang diperjuangkan dalam terminologi 'PSK' juga merendahkan harkat dan martabat manusia.
"Jasa seksual memporak-porandakan sistem kehidupan manusia, yang di Indonesia diatur dengan adanya Undang-undang perkawinan, sila ke satu dan kedua tentang ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sementara tidak manusiawi memperlakukan perempuan seperti itu," jelas dia.
Masalah lain, kata ia, adalah terminologi PSK yang digunakan dalam Peraturan Daerah (Perda) di beberapa daerah. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan mengklasifikasikan pengguna maupun penyedia layanan seksual sebagai tindak pidana zina.
"Jadi kalau tindak pidana zina, siapapun yang melakukan hubungan seksual di luar nikah maka dapat dijerat dengan Rancangan KUHP tersebut," jelas dia.