Kamis 17 Jan 2019 19:28 WIB

Bank Indonesia Pertahankan Suku Bunga Acuan

BI akan kendalikan defisit transaksi berjalan hingga turun ke kisaran 2,5 persen PDB.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Budi Raharjo
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (17/1/2019).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (17/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) memutuskan untuk pertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 6,00 persen, Kamis (17/1). Keputusan itu demi memperkuat ketahanan eksternal dan mempertahankan stabilitas.

Selain itu, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen. Keputusan tersebut konsisten dengan upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman dan mempertahankan daya tarik aset keuangan domestik.

Bank Indonesia juga terus menempuh strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas baik di pasar rupiah maupun pasar valas. Sehingga dapat mendukung stabilitas moneter dan sistem keuangan.

"Ke depan, Bank Indonesia akan terus mengoptimalkan bauran kebijakan dan memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal," katanya.

Termasuk untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan sehingga turun menuju kisaran 2,5 persen PDB pada 2019. Pertumbuhan ekonomi dunia melandai, namun ketidakpastian pasar keuangan sedikit mereda.

Di negara maju, pertumbuhan ekonomi AS 2019 diprakirakan melambat akibat pasar tenaga kerja yang semakin ketat dan dukungan fiskal yang terbatas. Stance kebijakan moneter The Fed AS lebih melandai dan diprakirakan menurunkan kecepatan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR).

Pertumbuhan ekonomi Eropa diprakirakan juga melambat pada 2019 sehingga dapat pula memengaruhi kecepatan normalisasi kebijakan moneter bank sentral Eropa (ECB). Di negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Tiongkok terus melambat dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi dan ekspor neto.

Antara lain akibat ketegangan hubungan dagang dengan AS dan dampak proses deleveraging yang masih berlanjut. Sejalan dengan prospek pertumbuhan ekonomi dunia itu, harga komoditas global diprakirakan menurun, termasuk harga minyak dunia akibat peningkatan pasokan dari AS.

Sementara itu, ketidakpastian pasar keuangan sedikit mereda dan mendorong aliran modal ke negara berkembang sejalan dengan lebih rendahnya prakiraan kecepatan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dan berkurangnya eskalasi ketegangan hubungan dagang AS-Tiongkok.

"Sehingga kenaikan suku bunga BI tahun lalu dinilai sudah mengcover semua kemungkinan yang akan terjadi di masa depan," kata Perry.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement