REPUBLIKA.CO.ID, Siklus bulanan bagi perempuan merupakan salah satu kodrat yang tak bisa dihindari. Bagi pasangan suami istri, Islam melarang hubungan senggama selama istri datang bulan. Namun, apakah boleh berintim ria selain bersenggama agar tetap hasrat terpenuhi?
Menurut Lembaga Fatwa Dar al-Ifta’ Mesir, mayoritas ulama sepakat bahwa boleh berintim ria dengan istri selama haid asalkan tidak melakukan senggama. Pendapat ini merupakan pandangan Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali.
Di antara dalil bolehnya berintim ria dengan istri selain bersenggama sewaktu haid adalah surah al-Baqarab ayat ke-22: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”
Ayat berbicara secara umum tentang larangan menjauhi perempuan ketika haidh, dan tidak membicarakan tentang hal-hal yang lebih spesifik lagi, tentang bagian lain dari istri yang diperbolehkan. Makanya, dalam sebuah riwayat Bukhari dari Aisyah RA, jika salah satu istri Rasulullah sedang haid, Rasul akan menyuruh mereka memakai kain (semacam sarung) kemudian Rasul ‘mendekati’nya. Sarung tersebut menutupi bagian istri di antara pusar dan paha.
Dengan demikian, hadis ini lebih mengerucutkan lagi tentang bagian mana saja yang boleh dan tidak boleh didekati suami kala istrinya sedang datang bulan. Mengapa bagian antara paha dan pusar dilarang didekati?
Dalam konteks, dalil-dalil di atas karena prinsip kehati-hatian agar tidak terus tergoda melakukan hal yang lebih lagi. Karena itulah, seorang suami wajib menghindari bagian sensitif tersebut.
Dalam kitab al-Mabsuth, Imam as-Sarkhasi al-Hanafi mengatakan, ulama sepakat boleh berintim ria dengan istri namun mereka berbeda soal batasannya. Dalam pandangan Abu Hanifah, batasannya ialah bagian atas pusar. Selain itu, bagian tubuh bawah pusar tidak diperbolehkan.
Ibnu Rusyd al-Maliki, dalam kitab al-Muqaddimat al-Mumahadat, menjelaskan tiga pendapat tentang batasan berintim ria tersebut yang pertama, tidak boleh keseluruhan tetapi pendapat ini sangat lemah dan tidak dirujuk para ulama. Pendapat kedua, boleh berintim ria dengan batasan di atas pusar sebagaimana yang tertera dalam hadis riwayat Aisyah di atas. Ini pendapat Malik dan para ulama Baghdad. Dan yang terakhir adalah, semua anggota tubuh kecuali alat vital.
Menurut Imam an-Nawawi as-Syafi’I, dalam kitabnya al-Majmu’, pendapat yang paling kuat dari imam Syafii, adalah haram mendekati bagian antara paha dan bawah pusar selama istri sedang haid. ini juga merupakan pendapat Abu al-Abbas dan Abu Ali bin Abu Hurairah dan sebagian sahabat.
Sementara menurut al-Bahuti al-Hanbali, dalam kitab Kasyyaf al-Qanna’, boleh hukumnya berintim ria dengan istri yang tengah datang bulan kecuali senggama seperti mencium, memegang tangan, dan termasuk melakukan onani menggunakan tangan istri.
Pada pengunjung fatwanya, Lembaga Fatwa Mesir menyimpulkan mayoritas ulama memperbolehkan berintim ria dengan istri dan mengharamkan bagian tubuh di antara paha dan bawah pusar. Sebagian ulama Mazhab Hanbali membolehkan apapun kecuali senggama. Sementara, sebagian lain memberikan catatan pendapat ulama Hanbali tersebut selama hal itu tidak membawa ke arah yang diharamkan.
Lembaga ini juga menyarankan jika memang karena alasan yang benar-benar syar’i seperti hasrat tak terbendung dan kekhawatiran terhadap perbuatan zina, dan dia bisa mengendalikan diri, maka boleh saja berintim ria di bagian paha dan di bawah pusar, asal jangan sampai bersenggama karena sekali lagi, haram hukumnya.
Sebab itulah, Lembaga ini lebih merekomendasikan tetap berhati-hati dan mengambil pendapat mayoritas ulama yaitu bolehnya berintim selain bagian di antara paha dan di bawah pusar.