REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ali Mansur
BOGOR – Narapidana kasus terorisme Abu Bakar Ba’asyir rencananya dibebaskan murni dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, pekan depan. Advokat Yusril Ihza Mahendra mengatakan pembebasan Ba’asyir atas instruksi Presiden Joko Widodo dengan pertimbangan kemanusiaan.
"Selain beliau dari sisi usia sudah cukup tua, beliau juga sedang sakit. Presiden akhirnya setuju untuk memberikan bebas murni kepada beliau," jelas Yusril di Gunung Sindur, Jumat (18/1).
Yusril menjelaskan Ba’asyir yang saat ini berusia 80 tahun juga telah menjalani dua per tiga masa hukumannya dari putusan 15 tahun penjara pada 2011 terkait kasus terorisme di Indonesia.
Sebelumnya, Yusril menyatakan sudah berkoordinasi dengan sejumlah lembaga/kementerian terkait agar membebaskan murni Ba’asyir. Hasilnya, proses administrasi pembebasan murni Ba’asyir akan dilakukan pada Senin (21/1).
"Sudah pasti keluar. Artinya sudah lebih dari dua pertiga (masa hukuman) sudah harus dibebaskan dan tidak dibebani syarat-syarat yang yang memberatkan beliau itu aja," ungkapnya.
Menurut Yusril, Ba’asyir seharusnya sudah bebas pada Desember tahun lalu. Namun, ketika itu masih belum ada kesepakatan karena Ba’asyir tetap enggan menyatakan ketaatan pada Pancasila.
Meski begitu, Yusril mengatakan ketaatan Ba’asyir terhadap Islam sedianya sama dengan taat kepada Pancasila karena tak ada pertentangan antara keduanya. "Sudah dijelaskan kepada Pak Jokowi dan Pak Jokowi memaklumi, sehingga tidak perlu ada syarat-syarat yang memberatkan," kata ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) tersebut.
Abu Bakar Ba'asyir bersama rekannya pendiri Ponpes Ngruki Solo, Abdullah Sungkar, sempat ditangkap rezim Orde Baru karena dituduh menolak asas tunggal Pancasila pada 1983. Pada 1985, ia melarikan diri ke Malaysia. Sekembalinya ke Indonesia pada 1999, ia mendirikan Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI).
Ia kemudian dijadikan tersangka penghasut pengeboman Bali pada 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang, kebanyakan WN Australia. Ba'asyir kemudian terbukti tak bersalah terkait dakwaan itu. Pada 2005, Ba'asyir dipenjarakan terkait pemalsuan dokumen lalu bebas pada 2006 dan mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pada 2008.
Ia kembali ditangkap dengan tudingan mendanai pelatihan terorisme di Aceh melalui JAT pada 2010. Pada 2011, Ba'asyir divonis bersalah dengan hukuman penjara 15 tahun dan dikuatkan Mahkamah Agung pada 2012.
Dengan masa hukuman itu, ditambah masa tahanan sejak 2010, sedianya baru pada 2020 ia menjalani dua per tiga hukuman yang biasanya jadi syarat pembebasan. Meski begitu, Ba’asyir juga tercatat beberapa kali menerima remisi.
Selepas menerima kabar pembebasan kemarin, Ba’asyir meminta waktu setidaknya tiga hari untuk membereskan barang-barangnya di sel penjara. Setelah bebas, Ba'asyir akan pulang ke Solo dan tinggal di rumah anaknya, Abdul Rahim.
Ia mengucapkan rasa syukur atas pembebasannya kemarin, juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah mengambil inisiatif pembebasan. Kepada juru rawat yang memeriksa kakinya yang sakit, Ba'asyir mengatakan, “Pak Yusril ini saya kenal sejak lama. Beliau ini orang berani, sehingga banyak yang memusuhinya. Tetapi saya tahu, beliau menempuh jalan yang benar."
Presiden Joko Widodo kemarin juga menekankan, pembebasan Ba’asyir dilakukan atas pertimbangan kemanusiaan. “Artinya, beliau sudah sepuh, ya pertimbangannya kemanusiaan," kata Jokowi di Garut, Jawa Barat, kemarin.
Presiden mengatakan, pembebasan tersebut sudah melalui pertimbangan yang panjang. "Pertimbangan dari sisi keamanan dengan Kapolri, dengan pakar, terakhir dengan Pak Yusril. Tapi, prosesnya nanti dengan Kapolri," katanya. Ia menambahkan, berbagai pertimbangan sudah dibahas sejak sekitar setahun lalu.
Terkait dampak atau ancaman yang mungkin timbul dari pembebasan tersebut, Presiden juga mengatakan sudah dipertimbangkan. "Tadi saya sampaikan pertimbangan kemanusiaan dan juga karena yang berkaitan dengan peralatan kesehatan," kata Jokowi.
(antara ed: fitriyan zamzami)