REPUBLIKA.CO.ID, BURNOS AIRES -- Seperti banyak pengusaha Argentina lainnya, Marco Meloni melakukan segalanya untuk menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) staf di pabrik tekstilnya meskipun ada penurunan penjualan. Hal itu menyusul suku bunga yang dikenakan lebih dari 70 persen, dan tagihan listrik melonjak di Argentina.
Alasan Meloni yakni dia tidak memiliki cukup uang untuk memecat pekerjanya. Hal yang tidak banyak dilaporkan dan tidak biasa terjadi di negara ekonomi terbesar ketiga di Amerika Latin itu adalah tidak adanya PHK besar-besaran saat krisis ekonomi.
Usaha kecil, pemberi kerja terbesar di Argentina, telah terpukul paling parah oleh inflasi yang hampir 48 persen, peso yang jatuh, dan pemotongan besar untuk subsidi utilitas publik yang telah secara tajam meningkatkan biaya operasi perusahaan.
Namun, tingkat pengangguran hampir tidak beranjak dari 9 persen.
Kantor berita Reuters melakukan wawancara dengan pemilik bisnis di industri tekstil, plastik, pakaian dan cat, pejabat pemerintah, serta pemimpin serikat pekerja. Mereka menunjukkan bahwa banyak perusahaan mengadopsi strategi berbeda untuk mencoba bertahan hingga ekonomi negara mulai pulih. Pemulihan yang diharapkan berasal dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang akan dimulai pada kuartal kedua.
Perusahaan yang mengurangi jam kerja, menghentikan produksi beberapa hari, memotong shift, dan meliburkan pekerja kini mengantisipasi permintaan pelanggan yang lebih banyak saat nanti ekonomi membaik.
Menurut data pemerintahan Argentina, ada sekitar 120 ribu pekerja tenaga kerja kontrak yang terdaftar antara Oktober 2017 dan Oktober 2018. Angka tersebut mewakili sekitar satu persen dari 12 juta tenaga kerja. Sebaliknya, Amerika Serikat (AS) kehilangan sekitar enam persen, atau sekitar 8,7 juta orang, dari tenaga kerjanya selama dua tahun dari Resesi Hebat 2007/08 ketika perusahaan memberhentikan pekerja untuk tetap bertahan.
Argentina memiliki beberapa undang-undang ketenagakerjaan paling dermawan di dunia dan membuat lebih sulit bagi pemilik usaha kecil seperti Meloni untuk beradaptasi dengan ekonomi yang sekarang dalam resesi. Biasanya dalam iklim ekonomi yang sulit, perusahaan akan mengurangi tenaga kerjanya untuk memotong biaya. Namun, di Argentina jika mengambil langkah itu dapat secara dramatis meningkatkan biaya dan berpotensi mendorong perusahaan menjadi bangkrut.
Diperkenalkan oleh pemerintah Peronis yang populis sejak 1940-an, undang-undang perburuhan menjadikan negara itu salah satu negara di Amerika Latin yang memiliki biaya mahal untuk mempekerjakan atau memecat, seorang pekerja.
Perusahaan-perusahaan Argentina diharuskan membayar pekerja yang diberhentikan sebulan gaji untuk setiap tahun pelayanan ditambah setidaknya satu bulan gaji saat pengumuman PHK. Hal terpenting yakni tidak ada batasan berapa banyak pesangon yang harus dibayar perusahaan.
Sebaliknya, negara tetangganya, Cile, memiliki batasan pembayaran pesangon. Biaya PHK di Argentina termasuk yang tertinggi di dunia, menurut proyek Doing Business Bank Dunia, yang mengukur peraturan bisnis di 190 negara.