REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Pemimpin perwakilan oposisi Suriah Nasr al-Hariri mengatakan upaya perdamaian negaranya mengalami kelumpuhan. Menurutnya, tidak adanya keinginan internasional menjadi faktor utama yang melatari terjadinya hal tersebut.
"Tidak adanya keinginan internasional untuk mendorong ke arah solusi politik telah menghambat PBB dan para utusannya melakukan apa pun," kata al-Hariri, dikutip laman Al Araby, Ahad (20/1).
Selain itu, adanya negosiasi terpisah yang tak diinisiasi PBB, menjadi penghambat lain dalam proses perdamaian Suriah. Pernyataannya merujuk pada perundingan yang dilakukan Rusia, Iran, dan Turki di Astana, Kazakhstan.
"Beberapa pihak dari Astana yang mendukung rezim (Bashar al-Assad) terus menghalangi pembentukan komite (konstitusional). Proses politik lumpuh," ujar al-Hariri.
Ia menyerukan dunia internasional bahu membahu dan tidak saling bersaing guna mewujudkan perdamaian Suriah. Hal itu penting, khususnya bagi jutaan pengungsi Suriah yang kini tersebar di sejumlah negara.
Menurutnya tidak mungkin jutaan pengungsi Suriah bisa kembali ke negaranya tanpa adanya solusi politik. Solusi politik juga penting untuk memulai proses rekonstruksi Suriah.
Utusan khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura telah mengundurkan diri dari jabatannya bulan ini. Ia meninggalkan jabatannya setelah gagal membentuk komite konstitusi Suriah.
Posisi de Mistura telah digantikan oleh Geir Pedersen. Dia menghadapi tugas cukup pelik yang tak mampu diselesaikan de Mistura selama empat tahun mengemban jabatannya.
Saat ini PBB masih berusaha membentuk komite konstitusi Suriah. Anggota komite telah ditetapkan berjumlah 150 orang. Pemerintah Suriah dan kelompok oposisi masing-masing telah mengirim 50 anggotanya. Lalu 50 anggota tersisa akan diduduki oleh perwakilan yang disepakati Rusia, Iran, dan Turki.
Konflik Suriah yang berlangsung sejak 2011, telah menyebabkan lebih dari 360 ribu orang tewas. Perang tak berkesudahan juga memaksa jutaan warga Suriah mengungsi ke berbagai negara, termasuk Eropa.