Senin 21 Jan 2019 18:02 WIB

Pengamat: Industri Ritel Alami Perubahan Konsep

Pelaku ritel harus memenuhi cara belanja yang dapat mengakomodir online dan offline.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Budi Raharjo
Warga memasuki gerai Hero yang masih buka di kawasan Gondangdia, Jakarta, Selasa (15/1).
Foto: Republika/Prayogi
Warga memasuki gerai Hero yang masih buka di kawasan Gondangdia, Jakarta, Selasa (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsultan properti Colliers International Indonesia menilai, keputusan sejumlah ritel modern untuk menghentikan operasional gerai-gerai menjadi implementasi dari perubahan konsep. Kondisi ini tidak bisa disebut sebagai 'penutupan' atau melemahnya daya tarik bisnis ritel sebagai dampak dari digitalisasi.

Senior Associate Director Retail Service Colliers Steve Sudijanto mengatakan, konteks 'penutupan' atau 'angkat kaki' lebih cocok dikaitkan dengan ritel seperti Seven Eleven (711). "Mereka keluar dan mungkin saja nanti masuk kembali," ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (21/1).

Sedangkan, Steve menambahkan, konsep penutupan itu tidak terjadi pada retail Hero, Central Department Store dan Metro Department Store. Diketahui, pada awal tahun ini, Hero memutuskan menghentikan operasional di 26 gerai, sementara Central di Neo Soho, Jakarta, ditutup. Terakhir, Metro di Manado juga ditutup sementara.

Menurut Steve, ketiga ritel modern tersebut hanya melakukan perubahan konsep dengan adanya penetrasi online yang membuat dunia ritel berubah. Apabila dulu masyarakat yang ingin belanja harus pergi ke toko, kini mereka dapat melakukannya melalui Android. "Ini membuat perubahan signifikan," tuturnya.

Perubahan dunia ritel sudah dan akan terus terjadi. Steve menjelaskan, masyarakat dulu harus berbelanja di jam tertentu karena adanya pembatasan waktu operasional. Konsep ini kemudian diantisipasi dengan adanya minimarket 24 jam seperti Circle K. Kini, belanja menjadi lebih fleksibel dengan platform online.

Dengan tuntutan digital, Stevel mengatakan, pelaku ritel harus melakukan reformasi konsep guna memenuhi cara belanja yang dapat mengakomodir dua tipe pembeli. Yakni, mereka yang suka berbelanja online dan/ atau offline atau juga kerap disebut sebagai pemasaran omnichannel.

Steve melihat, tren ini juga harus diantisipasi pusat perbelanjaan atau mall yang menjadi ‘rumah’ sejumlah ritel. Sebab, saat ini, pusat perbelanjaan bukan lagi digunakan sebagai tempat belanja, melainkan sosialisasi dan berbisnis. "Lama-lama, namanya bisa beralih menjadi pusat berbisnis dan bersosialisasi. Misal, untuk ketemu klien atau sekadar ngopi karena sumpek di rumah. Konteks ini sudah berevolusi," ujarnya.

Dengan kondisi ini, Steve menganjurkan, para pengembang harus beradaptasi, memahami keadaan pasar dan mengerti permintaan pasar. Pusat perbelanjaan harus semakin fokus ke tempat berbisnis, relaksasi dan rekreasi seperti kafe yang menjadi daya tarik utama masyarakat untuk singgah ke pusat belanja. Hal ini harus dilakukan tanpa menghilangkan fungsi sebagai tempat belanja.

Steve optimistis, pusat perbelanjaan ini masih menjadi bisnis menjanjikan, terutama di pinggiran kota. Sebab, hanya sedikit pilihan hiburan dan rekreasi yang tersedia bagi keluarga, termasuk mall. Berdasarkan data Colliers, terdapat 12 pusat perbelanjaan baru dengan luas total sekitar 600 ribu meter persegi yang akan dibangun sampai 2020.

Untuk di tengah kota, Steve mengatakan, ritel tetap berjalan tapi harus terintegrasi dengan sarana transportasi umum atau dikenal dengan sebutan Transit Oriented Development (TOD). “Pada 2019, membawa mobil ke mall sudah tren, tapi ke depannya cukup memusingkan,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) I Gusti Ketut Astawa, kunci untuk bertahan di tengah persaingan ritel minimarket adalah memahami target pasar. Ritel besar harus mengetahui lokasi mana saja yang memang sesuai dengan sasaran pasar mereka. Pun dengan produk yang dijual harus sesuai preferensi pasar mereka.

Selain itu Astawa menambahkan, pengusaha harus melakukan inovasi secara terus menerus. Khususnya dengan memanfaatkan marketplace yang kini sudah semakin menjamur. Baru sebagian pelaku ritel modern yang telah masuk ke ranah online.

Selain itu, Astawa menambahkan, pengusaha ritel tetap harus membuka offline store di daerah-daerah yang memang sesuai dengan pangsa pasar mereka. "Kini, mereka harus mempertimbangkan untuk menawarkan strategi omnichannel, yaitu memadukan offline dan online," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement