Selasa 22 Jan 2019 02:15 WIB

Ini Kata Pakar Pidana Soal Pembebasan Ba'asyir

Penilaian seorang narapidana merupakan kewenangan Dirjen PAS dan Menkum HAM

Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Prof DR Mudzakkir mengatakan seharusnya yang terkait dengan soal terpidana dan pembebasan bersyarat itu kompetensinya pada Dirjen Pemasyarakatan (PAS) serta Menteri Hukum dan HAM. Ini penting dan mendasar agar terjadi kepastian dalam penegakan hukum.

''Maka tidak ada pejabat lain, apalagi penasihat hukum calon presiden yang memiliki kompetensi untuk membuat stetmen terkait dengan pembebasan terpidana itu. Jadi kalau ada pernyataan soal pembebasan terpidana yang bukan dari pejabat terkait itu aneh. Bahkan malah justru bisa merugikan calon presiden, dalam hal ini adalah Jokowi selaku pasangan calon presiden nomor satu,'' kata Mudzakkir, kepada Republika, Senin malam, (21/1).

Menurutnya, seharusnya hasil analisis atau penilaian terhadap seorang narapidana merupakan kewenangan Dirjen PAS. Ini termasuk juga bila ingin membebaskan dengan pertimbangan kemanusiaan. "Jadi presiden tidak boleh membuat stetmen sebelum mendengar laporan dari dirjen PAS dan atau Menkum Ham,'' tegasnya.

"Oleh sebab itu semua stetmen atau hal yang terkait dengan pembebasan Baasyir tak memiliki landasan hukum karena yang membuat pernyataan bukan Dirjen Pas dan atau Menkum Ham. Namun pertanyaannya kemudian apakah presiden ketika membuat stetmen sudah mendengar laporan Dirjen PAS dan atau  Menteri Hukum dan Ham tersebut. Inilah saya yang tidak tahu dan menjadi misteri,'' katanya lagi.

Ditegaskan Mudzakkir, adalah menjadi tidak benar jika presiden dalam hal membuat keputusan terhadap seorang terpidana hanya mendengar laporan dari penasihat hukum pasangan calon presiden.''Bagi saya ini hal aneh jika benar hanya mendengar laporan dari Yusril Ihza Mahendra saja selaku penasihat hukum pasangan hukum Jokowi.

''Dan agar semua jelas, sebaiknya sekarang Menkum HAM memberikan stetmen soal pembebasan Basyir itu seperti apa sebenarnya. Ini sangat penting agar ada kepastian hukum,'' kata Mudzakkir.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, Sri Puguh Budi Utami, mengatakan sampai saat ini proses pembebasan Abu Bakar Ba'asyir masih dalam proses. Dan memang sudah diketahui, Presiden Joko Widodo mempertimbangkan membebaskan Abu Bakar Ba'asyir dengan alasan pertimbangan kemanusiaan dan penghormatan kepada seorang ulama yang sedang sakit.

"Masih dalam proses," ucap Sri Puguh kepada Republika.co.id, Senin (21/1).

Ia tidak menjelaskan secara detil sudah sampai sejauh mana tahap proses pembebasan Abu Bakar Ba'asyir. 

Sementara Kasubag Publikasi Humas Ditjenpas Rika Aprianti saat dikonfirmasi menerangkan, sampai saat ini Abu Bakar Ba'asyir masih menjalani masa tahanan di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.

"Sampai  saat ini ABB (Abu Bakar Ba'asyir) masih menjalani  pidana sesuai putusan pengadilan," ujarnya.

Sementara Senin petang (21/1), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, menyatakan upaya pembebasan tanpa syarat Ustaz Abu Bakar Baasyir belum rampung. Bahkan, kini upaya pembebasannya masih akan ditinjau lebih lanjut oleh Pemerintah Indonesia.

"Atas dasar pertimbangan kemanusiaan maka Presiden sangat memahami permintaan keluarga tersebut. Namun, tentunya masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya," ujar Wiranto, saat konferensi pers (konpers) mendadak yang dilakukan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (21/1).

Aspek-aspek yang perlu diperimbangkan lebih lanjut tersebut di antaranya mengenai aspek ideologi Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hukum, dan lain sebagainya. Hal itu, kata Wiranto, diputuskan karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan pejabat terkait untuk melakulan kajian secara lebih mendalam.

"Presiden memerintahkan kepada pejabat terkait untuk segera melakukan kajian secara lebih mendalam dan komprehensif guna merespon permintaan tersebut," katanya.

Wiranto pun menjelaskan, sebetulnya, keluarga Abu Bakar Baasyir telah mengajukan permintaan pembebasan yang bersangkutan pada 2017 lalu. Permintaan tersebut diajukan dengan pertimbangan usia terpidana kasus terorisme tersebut sudah lanjut dan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement