REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai, pemerintah sebaiknya membenahi permasalahan komoditas garam mulai dari hulu. Salah satunya dengan meningkatkan keterampilan produksi para petani garam. Tujuannya, agar produksi mereka juga dapat digunakan untuk kebutuhan industri yang selama ini dipenuhi melalui impor.
Ilman mengatakan, impor garam saat ini tidak lepas dari kurangnya kemampuan para petani garam lokal untuk memenuhi kebutuhan industri. Selain itu, harga garam lokal juga relatif lebih mahal daripada garam impor. "Kualitasnya juga masih berada di bawah garam impor," tuturnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (21/1).
Pemerintah, Ilman menambahkan, sebaiknya mengupayakan berbagai kegiatan untuk peningkatan kapasitas produksi petani garam. Dengan adanya peningkatan kapasitas petani, diharapkan hasil produksi garam lokal juga dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan industri. Sehingga, pasar mereka semakin luas dan tidak hanya untuk garam konsumsi.
Kegiatan-kegiatan yang dimaksud antara lain dengan mengenalkan teknologi bercocok tanam secara teori maupun praktek, pelibatan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Selain itu, membuka kesempatan kepada para petani untuk belajar langsung ke negara-negara produsen garam besar di dunia.
"Tidak kalah penting, pemerintah juga seharusnya bisa memaksimalkan peran penyuluh pertanian supaya mereka bisa memberikan pendampingan kepada para petani," ujarnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, kebutuhan garam industri untuk 2018 berjumlah sekitar 3,7 juta ton. Industri yang membutuhkan jumlah garam terbesar adalah industri petrokimia yaitu sebesar 1,78 juta ton. Berikutnya adalah industri pulp dan kertas yang membutuhkan pasokan garam industri sebesar 708.500 ton, sementara tempat ketiga diduduki oleh industri pangan dengan kebutuhan 535 ribu ton
Selain itu, Ilman menuturkan, masih ada sederet industri yang membutuhkan pasokan garam industri. Misalnya, pengasinan ikan, kosmetik, tekstil, sabun dan deterjen, pakan ternak, penyamakan kulit, pengeboran minyak dan lain-lain.
Ilman memperkirakan, jumlah tersebut akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan meningkatnya industrialisasi. "Seharusnya potensi peningkatan pendapatan petani melalui garam industri bisa segera ditanggapi secepat mungkin. Memperluas lahan tambak garam tidak akan sepenuhnya efektif tanpa adanya peningkatan keterampila produksi petaninya," katanya.
Saat ini, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tengah gencar mendorong Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk petani garam. Menurut data Bank Indonesia, penyaluran kredit UMKM pada komoditas garam secara keseluruhan memiliki rasio kredit macet (Non Performing Loan/NPL) di atas lima persen. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan khusus terhadap pembiayaan kredit bagi komoditas garam tersebut.
Pemberian KUR tersebut untuk meningkatkan kualitas produksi garam dari petani. KUR khusus diberikan kepada kelompok yang dikelola secara bersama dalam bentuk klaster dengan menggunakan mitra usaha.