REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Sekitar 2,8 juta penduduk Mindanao, Filipina, mengikuti referendum otonomi wilayah tersebut pada Senin (21/1). Referendum menjadi upaya puncak dari proses perdamaian guna mengakhiri konflik separatis yang telah berlangsung selama puluhan tahun di sana.
Proses pemungutan suara dimulai pada pukul 07:00 pagi dan ditutup pada pukul 15:00 waktu setempat. Penduduk Mindanao memilih antara "ya" dan "tidak" sebagai bentuk persetujuan atau penolakan atas penyerahan otonomi untuk daerah tersebut. Proses pemungutan suara dijaga sekitar 20 ribu personel polisi dan militer.
Referendum otonomi Mindanao dicetuskan oleh Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dan disetujui Pemerintah Filipina. MILF menjadi kelompok yang diproyeksikan mengelola dan menjalankan pemerintahan di wilayah tersebut.
Ketua MILF Murad Ebrahim optimistis mayoritas penduduk Mindanao memilih "ya" dalam referendum. "Kami yakin bahwa 'ya' akan menang. Jika tidak ada manipulasi, tidak ada intimidasi, akan ada persetujuan yang luar biasa," ujarnya.
Hasil refrendum dijadwalkan diumumkan pada Jumat (25/1). Jika referendum dimenangkan pemilih "ya", Daerah Otonom di Muslim Mindanao (ARMM) akan disisihkan dan diganti menjadi Daerah Otonom Bangsamoro di Muslim Mindanao (BARMM).
Setelah itu Pemerintah Filipina akan menyerahkan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan fiskal kepada Mindanao. Sementara urusan pertahanan, keamanan, kebijakan luar negeri, dan moneter tetap diatur pemerintah pusat.
Di sisi lain, jika "ya" menang dalam referendum, MILF akan menonaktifkan 35 ribu tentaranya. Para pemipin atau petinggi MILF mengambil posisi dalam pemerintahan sipil yang baru.
MILF dan Pemerintah Filipina berharap otonomi akan mengundang investasi yang lebih besar di bidang infrastruktur serta sumber daya alam. Sebab hal itu memungkinkan Mindanao melakukan perluasan ekspor buah, nikel, dan mengembangkan industri minyak kelapa sawit.
MILF merupakan gerakan separatis bersenjata yang berdiri pada dekade 1970-an. Kelompok itu merupakan sempalan dari Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF).
Dikutip laman Aljazirah, MNLF berdiri pada 1969. Sejak berdiri, MNLF telah melancarkan pemberontakan dengan maksud memerdekakan Mindanao dari Filipina.
Pertempuran menyebabkan kerugian dan kehancuran besar bagi komunitas Moro. Hal itu tak dapat dilepaskan dari rezim otoriter Ferdinand Marcos yang memimpin Filipina kala itu.
Pada 1976, Filipina dan MNLF menyetuju otonomi. Pada fase ini, sebuah faksi di tubuh MNLF, memutuskan keluar dan membentuk MILF. Mereka melanjutkan perjuangan untuk memisahkan diri dari Filipina.
Pada 1989, presiden Corazon Aquino mendirikan ARMM. Namun hanya sebagian kecil dari wilayah Moro, yakni sekitar empat provinsi, memilih untuk dimasukkan dalan wilayah otonom.
MNLF fokus mengelola ARMM. Sementara MILF terus tumbuh dan menjadi kelompok pemberontak terbesar di Filipina. Mereka yang mempelopori penyebab Moro.
Pertempuran antara MILF dan pemerintah berlangsung sepanjang 1990-an dan awal 2000-an. Kala itu presiden Joseph Estrada menyatakan perang habis-habisan melawan MILF.
Kedua belah pihak baru mencapai kesepakatan pada 2012. MILF dan Pemerintah Filipina menyetujui kesepakatan dasar untuk membangun wilayah otonom yang lebih kuat. Detail kesepakatan ditegaskan pada 2014.
Proses perundingan berlanjut pada 2017, yakni setelah Kota Marawi dikuasai pemberontak yang terafiliasi ISIS. Kejadian itu menyoroti perlunya kesepakatan damai final.
Negosiasi antara pemerintah dan panel transisi Bangsamoro yang dipimpin MILF berlangsung cukup alot. Namun pada Juli 2018, Presiden Rodrigo Duterte menandatangani Undang-Undang Organik Bangsamoro (BOL).
Kala itu, ketua panel transisi Ghazali Jaafar mengaku puas. "Kami puas. Ini bukan hukum yang sempurna, tapi hal itu baik untuk memulai," ujarnya.