REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak-anak Indonesia lebih berisiko kurang sejahtera jika tidak ada sosok perempuan berpendidikan dalam keluarga. Menurut laporan hasil studi terbaru di Indonesia, perempuan dipandang sebagai sosok penting dalam mengatasi kemiskinan multidimensi pada anak.
Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan oleh lembaga penelitian SMERU, terungkap bahwa prevalensi atau tingkat kelaziman anak miskin semakin kecil ketika tingkat pendidikan perempuan dewasa dalam keluarga semakin meningkat. Anak-anak lebih berisiko menderita deprivasi multidimensi ketika tidak ada sosok perempuan dewasa yang berpendidikan dalam sebuah rumah tangga.
Deprivasi, dalam hal ini, dimaknai sebagai kekurangan atas sesuatu yang dianggap penting bagi kesejahteraan psikologis.
"Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang perempuan dewasa dalam sebuah keluarga, semakin berdampak positif terhadap kesejahteraan anak," kata Luhur Bima, peneliti senior SMERU, kepada ABC pekan lalu.
Hasil survei SMERU yang diterbitkan Januari 2019 ini menunjukkan, pada rumah tangga dengan perempuan tanpa penididikan formal, jumlah anak usia 0-23 bulan yang dikategorikan miskin sebanyak 25,71 persen.
Sementara jika dalam rumah tangga itu terdapat sosok perempuan yang mengenyam pendidikan dasar, maka jumlah anak tergolong miskin, dengan level usia yang sama, menjadi 21,55 persen.
Namun, melihat perubahan yang cukup signifikan di antara kategori perempuan dewasa berpendidikan tingkat dasar dengan perempuan dewasa berpendidikan tingkat menengah (SMP dan SMA) -yakni 12,02 persen, dan kemudian dengan tingkat di atasnya lagi - yakni 2,1 persen.
Perubahan signifikan juga terjadi pada kelompok usia anak yang berbeda. Pada rentang usia 2-4 tahun, jumlah anak miskin dalam rumah tangga dengan perempuan dewasa di antara kategori berpendidikan tingkat dasar dan berpendidikan tingkat menengah tercatat masing-masing 21,68 dan 10,71 persen, jumlah selisih yang cukup tajam. Untuk anak dengan kategori miskin dan rentan, data survei juga menunjukkan kecenderungan yang serupa (lihat tabel).
Luhur menjelaskan, dalam pola pengasuhan anak, perempuan acapkali memegang peran yang lebih besar dibandingkan laki-laki.
"Pandangan umum meyakini bahwa tugas utama laki-laki dalam keluarga adalah sebagai pencari nafkah utama, sementara perempuan bertanggungjawab mengelola rumah tangga, termasuk mengurus anak," ujarnya.
Keterkaitan deprivasi anak dan tingkat pendidikan perempuan dalam keluarga, sebut Luhur, bisa dijelaskan dengan dua argumen.
"Pertama mereka (perempuan) dapat bekerja dan menambah penghasilan keluarga. Kedua, mereka akan mengasuh anak-anak dengan tingkat pengetahuan yang lebih baik."
Pandangan tersebut juga dibenarkan oleh Vivi Yulaswati, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial di Badan Perencana Pembangunan Nasional RI (Bappenas). Ia mengatakan, beberapa bukti terkait pengasuhan anak di keluarga menunjukkan peran perempuan yang menonjol. Karena itu, tingkat pendidikan ibu atau sosok perempuan pengasuh anak berpengaruh terhadap kesejahteraan anak itu sendiri.
"Saat anak kesulitan PR dan tugas sekolah, ibu dengan pendidikan rendah cenderung menyerah. Buntutnya kalau perempuan cepat dinikahkan dan kalau laki-laki disuruh kerja," ujarnya kepada ABC.
Meski demikian, tingginya tingkat pendidikan formal perempuan dewasa dalam satu rumah tangga bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi kurangnya risiko deprivasi anak.
Fitriana Herarti, spesialis perkembangan anak di organisasi ChildFund, mengatakan kunci utama berkurangnya deprivasi pada anak semata-mata bukan pada tingkat pendidikan ibu.
"Tapi pada 'kemauan' ibu untuk belajar dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh. Banyak sekali relawan di organisasi kami yang hanya lulus SD dan SMP tetapi kemudian menjadi motor penggerak di masyarakat," utaranya kepada ABC.
"Namun kenyataan ini tidak berarti bahwa pendidikan formal tidak penting ya," imbuhnya.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.