REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN dan Uni Eropa (UE) ke-22 di Brussels, (21/1), Indonesia kembali perjuangkan isu sawit. Dalam hal ini Indonesia tetap menolak kebijakan diskriminatif terhadap sawit di Eropa.
Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir menjelaskan fakta kontribusi sawit bagi perekonomian serta sumbangannya terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Ia mengatakan, sawit adalah komoditas strategis bagi Indonesia khususnya bagi petani kecil.
"Sekitar 20 juta masyarakat ASEAN bergantung kehidupannya pada industri sawit dan lebih dari lima juta petani kecil di Indonesia, Thailand dan Filipina menyandarkan kehidupannya dari kelapa sawit," katanya melalui siaran pers, Selasa (22/1).
Dalam konteks global, sawit memiliki peran kunci dalam mewujudkan SDGs. Sawit telah berkontribusi dalam pencapaian 12 dari 17 tujuan yang tecakup dalam SDGs dari pengentasan kemiskinan hingga pengurangan kemiskinan, dari penghapusan kelaparan hingga pencapaian energi bersih dan terjangkau.
"Menolak sawit sama artinya menolak SDGs yang merupakan suatu kesepakatan global," tegas Fachir.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono pernah mengatakan, Indonesia merupakan produsen minyak sawit berkelanjutan terbesar di dunia. Hal ini diperkuat dengan keberhasilan sebagai produsen terbesar minyak sawit mentah (CPO) di dunia dengan produksi sebanyak 42 juta ton pada 2018 lalu.
Menurutnya, keberadaan minyak sawit terus memberikan kontribusi besar bagi negara dan masyarakat. Salah satunya melalui pengembangan industri turunan minyak sawit sebagai bioenergi, yang juga menguntungkan secara lingkungan.
"Minyak sawit harus terus dikembangkan, supaya memberikan banyak keuntungan bagi pendapatan negara, sosial masyarakat dan lingkungan yang lebih baik," katanya.