REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Taliban akan melanjutkan perundingan dengan Amerika Serikat (AS). Perundingan sempat terhenti karena AS menolak mengakhiri invasi terhadap Taliban di Afghanistan.
"Menyusul penerimaan Amerika atas agenda untuk mengakhiri invasi ke Afghanistan dan mencegah Afghanistan digunakan terhadap negara-negara lain di masa mendatang, pembicaraan dengan perwakilan Amerika berlangsung hari ini (Selasa) di Doha, Qatar," kata juru bicara Taliban Zabihullah Mujahed, dikutip laman Anadolu Agency.
Sebelumnya Taliban telah dua kali menolak berunding. Hal itu disebabkan hendak disertakannya perwakilan Pemerintah Afghanistan dalam pembicaraan damai.
Taliban menolak melakukan pembicaraan dengan perwakilan Pemerintah Afghanistan. Taliban menganggap pemerintahan saat ini adalah boneka. Mereka memandang AS sebagai lawan sebenarnya.
Kepala Eksekutif Afghanistan Abdullah Abdullah sempat mengomentari keenganan Taliban melibatkan Pemerintah Afghanistan dalam perundingan damai. Menurutnya, bila sikap Taliban demikian, kesepakatan damai hanya akan menjadi mimpi belaka.
Baca juga, AS Siap Berunding dengan Taliban.
"Dalam setiap perjanjian damai, di mana hak-hak warga negara kami, yang telah diperoleh dengan banyak pengorbanan, tidak dihormati, kesepakatan itu adalah mimpi dan tidak akan pernah terjadi," kata Abdullah dalam sebuah pertemuan di Kabul awal Januari lalu.
Ia mengatakan Taliban sering mengutarakan bahwa kelompoknya tak lagi sama seperti masa lalu. Bahkan Taliban pernah menyatakan bahwa mereka telah belajar dan berusaha mendukung pemerintahan yang inklusif.
Namun hal itu tak dibuktikan secara konkret. Ketika Pemerintah Afghanistan telah bersedia melakukan perundingan damai, Taliban justru ingin berbicara dengan pihak lain, yakni AS. "Mereka melakukan ini untuk menunjukkan bahwa pemerintah lemah atau tidak ada," ucap Abdullah.
Konflik antara Pemerintah Afghanistan dengan Taliban telah berlangsung selama lebih dari 16 tahun. Peperangan telah menyebabkan ribuan warga sipil tewas. Tahun lalu konflik telah membunuh atau melukai lebih dari 10 ribu warga sipil.