Rabu 23 Jan 2019 07:19 WIB

Pengamat: Kebijakan Pemprov DKI tak Sinkron

Anies harap laporan Ombudsman soal keterlibatan preman bisa diproses jadi bukti

Rep: Farah Noersativa/Mimi Kartika/ Red: Bilal Ramadhan
Anies Baswedan
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Anies Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menilai kericuhan di Tanah Abang beberapa waktu lalu tidak lepas dari kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak sinkron. Menurutnya, kebijakan-kebijakan itu justru kontraproduktif dalam penataan kawasan Tanah Abang.

"Kebijakan Anies (Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan) yang telah dilakukan di Tanah Abang dimulai dengan penutupan Jalan Jatibaru, penambahan rute busway, pembangunan skybridge sampai dengan penertiban PKL pada akhirnya membuahkan efek domino kerusuhan antara PKL dengan Satpol PP," ujar Trubus kepada Republika, Selasa (22/1).

Ia menjelaskan, Pemprov DKI perlu berkoordinasi dan melakukan pengawasan yang berkesinambungan. Menurut dia, Gubernur DKI dapat mengefektifkan kebijakan-kebijakan melalui Intruksi Gubernur (Ingub) tentang penataan kawasan Tanah Abang agar kericuhan tak terulang lagi.

Trubus memaparkan, pedagang kali lima (PKL) merasa termarginalisasi karena setiap pengambilan keputusan terkait penataan Tanah Abang, mereka tidak dilibatkan. Hal itu semakin berkembang ketika pembangunan Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) atau skybridge tidak menampung seluruh PKL.

Selain itu, lanjut Trubus, sebagian besar PKL menyatakan, petugas Satpol PP dalam melakukan penertiban kurang mengedepankan konsep kemanusiaan. Sebab, menurutnya, petugas bersifat koersif dan memaksa PKL untuk pindah dari tempat lapak jualan tanpa memberi ruang untuk dialog.

"Ada banyak PKL yang kecewa atas perlakuan Satpol PP, karena selama ini diantara PKL merasa ada yang sering memberi 'upeti' pada oknum-oknum Satpol PP, sehingga PKL tahu kelemahan Satpol PP," kata dia.

Sehingga, Trubus mengatakan, kekecewaan PKL ini selanjutnya dimanfaatkan para preman yang selama ini mengais rezeki dengan meminta upeti kepada para PKL. Untuk itu, menurut dia, perlu evaluasi menyeluruh dalam penataan Tanah Abang.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menegaskan, para pelanggar yaitu para pedagang yang masih berjualan di trotoar di bawa Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) Tanah Abang, pasti akan ditindak. Seperti halnya, ketika penertiban yang berujung ricuh pada Kamis (17/1) lalu.

“Sekaligus kita pesan pada semua kalau melanggar akan ditindak, baik besar maupun kecil. Kalau melanggar Perda (Peraturan Daerah), Pergub (Peraturan Gubernur), maka petugas satpol PP kita yang akan menindak,” jelas Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (21/1) malam.

Anies mengatakan, saat ini kasus ricuhnya penertiban di Tanah Abang telah ditangani oleh pihak kepolisian. Oleh sebab itu, dia memperingatkan kepada semua pihak untuk tak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Apalagi, tindakan sampai ranah pidana.

Dia belum membenarkan adanya dugaan keterlibatan preman di balik ricuhnya penertiban itu. Dia lebih menunggu laporan-laporan yang lengkap untuk menjadi bukti adanya keterlibatan preman.

Dia berharap, laporan mengenai keterlibatan preman yang dilaporkan oleh Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya bisa diproses untuk menjadi alat bukti. Sehingga, hal itu bisa segera dilakukan tindakan.

“Kalau preman tidak usah didekati, ya aturannya di sini tidak ada premanisme,” kata Anies.

Ketua Ombudsman RI perwakilan Jakarta Raya Teguh Nugroho menyebut adanya preman di balik ricuhnya penertiban pedagang di trotoar adalah sebuah fakta lama. Dia menduga kuat adanya upaya konsolidasi preman yang selama ini mendapat penghasilan dari para pedagang dan kehilangan penghasilan dari penempatan Pedagang Kaki Lima (PKL) ke JPM dan ke Blok F.

“Dengan menarik pedagang baru ke trotoar dan jalan Jatibaru yang sudah kosong karena penempatan PKL ke JPM. Karena para pedagang tersebut adalah pedagang baru yang tidak terdata oleh kami, sewaktu pendataan para PKL Jatibaru,” jelas dia.

Karena keterbatasan JPM, maka sisa pedagang berjumlah sekitar 149 pedagang itu dialihkan ke Blok F. Menurutnya, mereka tidak mau karena kurang laku. Teguh menyebut para pedagang selalu enggan menyebutkan kepada siapa mereka membayar kontribusi.

Temuan Ombudsman, bayaran kontribusi kepada sosok yang diduga preman itu adalah sekitar Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari per pedagang dari 650 PKL yang sebelumnya ada di Jalan Jatibaru dan belum ditertibkan ke JPM.

“Yang 500 di antaranya sekarang masuk ke JPM dan blok F. Berapa potensi kehilangan pendapatan per hari para preman ini,” ujar Teguh.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement