REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum Oesman Sapta Odang (OSO), Dodi S Abdul Qodir, mengatakan, pihaknya menanti proses hukum terkait polemik antara kliennya dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut Dodi, semua jalur peradilan pemilu telah selesai ditempuh OSO.
"Urusan Pak OSO sudah selesai. Semua jalur hukum sesuai dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sudah selesai," ujar Dodi kepada wartawan di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta, Selasa (22/1) malam.
Berdasarkan pasal 470 UU Pemilu, kata dia, sudah jelas diatur bahwa KPU wajib melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Jika KPU tidak mematuhi putusan PTUN, menurut Dodi mereka akan berhadapan dengan hukum.
"Bukan lagi berhadapan dengan OSO tetapi berhadapan dengan hukum. Jadi penegak hukum nanti yang akan mengambil langkah karena sudah merupakan ranah hukum publik. Pelanggaran kepada undang-undang ranahnya hukum publik. Bukan delik aduan lagi," tegas Dodi.
Pada Selasa malam, OSO menegaskan dirinya tidak akan pernah mundur sebagai pengurus parpol. Ketua Umum Partai Hanura ini meminta KPU patuh kepada putusan sejumlah lembaga peradilan.
"Saya tidak mengenal ancaman, kalau sampai meletakkan ancaman kepada saya, maka dia akan terancam, itu satu. Kedua, saya tidak akan pernah mundur selagi KPU tidak patuh kepada perintah hukum dan perintah konstitusi," tegas OSO kepada wartawan di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta.
Rabu (23/1) dini hari, Ketua KPU, Arief Budiman, mengatakan nama OSO tidak tercantum dalam surat suara untuk pemilihan anggota DPD Pemilu 2019. Hingga batas waktu penyerahan pernyataan pengunduran diri berakhir, KPU tidak menerima surat apa pun dari OSO.
Menurut Arief, KPU menanti surat pengunduran diri OSO hingga pukul 24.00 WIB, Selasa. Namun, hingga lewat dari pukul 24.00 WIB, surat tersebut tidak ada.
Karena itu, KPU memastikan nama OSO tidak masuk ke dalam daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2019. Nama OSO juga tidak masuk ke dalam surat suara.
"Surat suaranya tetap sama (tidak ada nama OSO masuk). Tidak ada perubahan," ujar Arief di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat.
Sementara itu, sebelumnya Kuasa Hukum OSO, Herman Kadir, menjelaskan pihaknya telah menempuh empat langkah hukum untuk melawan KPU. Pertama, menyampaikan surat eksekusi dari PTUN kepada KPU.
Surat eksekusi ini sudah diserahkan kepada KPU pada Senin (21/1). "Kami akan menunggu selama tiga hari, apakah KPU menjalankan perintah surat eksekusi ini atau membangkang," tegas Herman.
Surat eksekusi ini meminta KPU langsung memasukkan nama OSO ke dalam DCT tanpa harus mengundurkan diri. Surat tersebut juga meminta KPU untuk menerbitkan Surat Keputusan (SK) baru untuk mengganti dari SK 1130 yang sudah dibatalkan oleh PTUN.
Jika KPU tidak mengindahkan surat eksekusi itu, maka PTUN akan membuat pengumuman di media cetak. Pengumuman itu berisi KPU tidak menjalankan putusan pengadilan.
"Ini sesuai aturan pada pasal 116 UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. PTUN akan mengumumkannya," tutur Herman.
Setelah itu, kuasa hukum OSO akan kembali berkirim surat kepada PTUN. Isi suratnya meminta PTUN untuk mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR. Presiden dan DPR bisa memanggil, menegur dan memerintahkan KPU menjakankan putusan pengadilan.
Langkah kedua, lanjut Herman, meminta Bawaslu melaporkan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ini berkaitan dengan sikap KPU yang menurut dia belum menjalankan putusan Bawaslu soal dugaan pelangggaran administrasi dalam pencalonan OSO.
"Kami minta Bawaslu agar melaporkan KPU ke DKPP karena sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, putusan Bawaslu wajib dijalankan KPU tiga hari sejak dibacakan. Jika tidak dijalankan, maka Bawaslu bisa mengadukan KPU ke DKPP," ungkap Herman.
Langkah ketiga, kuasa hukum OSO kembali melaporkan KPU atas dugaan pelanggaran administrasi Pemilu ke Bawaslu. Objek laporannya adalah surat KPU Nomor 60/PL.01-SD/03/KPU/1/2019 tanggal 15 Januari 2019 perihal pelaksanan putusan Bawaslu. KPU dianggap tidak mentaati putusan Bawaslu tanggal 9 Januari.
"Keempat, kami melaporkan Ketua dan Komisioner KPU ke Polda Metro Jaya karena tidak melaksanakan perintah undang-undang atau tidak menjalankan putusan PTUN atau Bawaslu," tutur dia.
Laporan ke Polda Metro Jaya ini tertanggal 16 Januari 2019 dengan NomorLP/334/1/2019/PMJ/Dit.Reskrimum. Pihak yang dilaporkan adalah Ketua KPU Arief Budiman dan enam komisioner KPU. Mereka dianggap melanggar Pasal 421 KUHP jo 216 ayat (1) KUHP karena tidak melaksanakan perintah undang-undang atau tidak menjalankan putusan PTUN atau Bawaslu.