Rabu 23 Jan 2019 21:06 WIB

OJK: Perlu Regulasi Khusus Atur Industri Keuangan Digital

Sejumlah startup belum memiliki legalitas untuk produk jasa keuangan

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Layanan keuangan digital (ilustrasi)
Foto: ICET.ORG
Layanan keuangan digital (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menilai, perkembangan industri digital tidak dapat terlepas dari isu legal, baik resiko maupun regulasinya. Sebab, banyak di antara mereka tidak termasuk dalam industri jasa keuangan, tapi produknya sudah masuk ke jasa keuangan.

Wimboh menjelaskan, tidak menutup kemungkinan konsep produk mata uang dan pinjaman dari perusahaan digital berkembang ke pasar modal. Dengan konsep tersebut, menurutnya, perusahaan digital (khususnya startup, red) membutuhkan dua jenis regulasi.

Pertama, untuk lembaganya seperti PT Aplikasi Karya Anak Bangsa yang menggarap Gojek. Kedua, regulasi untuk produknya seperti Gopay.

"Ini sama dengan lembaga jasa keuangan yang mengeluarkan surat utang atau saham harus tunduk pada peraturan OJK," katanya dalam diskusi Antisipasi Disrupsi Teknologi Keuangan Era 4.0 di Jakarta, Rabu (23/1).

Tapi, saat ini, isunya adalah sejumlah startup belum memiliki legalitas untuk produk jasa keuangan. Apabila mereka mengeluarkan produk peminjaman seperti yang dilakukan lembaga pembiayaan dan perbankan, harus mendapatkan izin dari OJK. Sementara itu, jika produknya berupa payment maupun currency, otoritasnya ada di Bank Indonesia.

Wimboh mengakui, perkembangan dan penetrasi teknologi menjadi penyebab utama dari kondisi ini. Perusahaan non jasa keuangan sekarang dapat mengeluarkan ragam produk dengan teknologi seperti Gojek dan Tokopedia. "Betapa rumitnya," ujarnya.

Menurut Wimboh, ke depannya, konsep perusahaan nonjasa keuangan yang mengeluarkan jasa keuangan harus diatur segera melalui regulasi khusus dalam bentuk undang-undang. Pada dasarnya, regulasi tersebut bisa dikeluarkan oleh masing-masing lembaga melalui legal framework-nya seperti yang telah dilakukan sebelumnya.

Tapi, perkembangan teknologi dan industri digital kini sudah tidak lagi dapat dikelola oleh pengaturan legal framework. Sebab, akan menyulitkan proses perizinannya dan jaminan regulasi untuk perlindungan konsumen.

Wimboh mengatakan, saat ini, produk-produk perbankan yang sudah diregulasi akan lebih bagus apabila bekerjasama dengan fintech. Bentuknya beragam, termasuk unit bisnis. "Kalau ketentuannya masih kurang, OJK dapat mengeluarkannya," ucapnya.

Terpenting, Wimboh menekankan, fungsi OJK untuk melindungi hak masyarakat dapat terlaksana. Baik itu produk fintech maupun konvensional harus mampu melindungi hak masyarakat. Apabila masyarakat ada yang merasa tertipu nantinya, dapat melaporkan ke OJK.

Deputi Komisioner OJK Institute Sukarela Batunanggar mengatakan, ada beberapa hal yang akan membentuk tatanan sektor jasa keuangan di Indonesia selama beberap tahun ke depan. Termasuk di antaranya, disruptive technology, sehingga memunculkan pemain baru di fintech yang menawarkan kompetisi bagi lembaga jasa keuangan incumbent.

Kedua, perubahan perilaku konsumen yang lebih suka bertransaksi dengan gawai. Ketiga, pergeseran fokus perbankan dari product centric menjadi consumer centric.

"Mereka kini fokus menawarkan berbagai opsi dan channel sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat," tutur Sukarela.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement