REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemampuan berbahasa, menurut cendekiawan Muslim, Ibnu al-Nadim, merupakan keterampilan yang mesti dimiliki oleh seorang ahli menulis surat. Ia mengungkapkan hal ini dalam bukunya yang terkenal, Fihrist.
Bab ketiga dari buku yang ditulis pada 987 Masehi ini membahas para ahli pembuat surat dan orator ulung. Dalam bukunya itu, Nadim membagi ahli menulis surat ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang suratnya dipublikasikan.
Kelompok ini terdiri atas 49 nama penulis surat. Biasanya, publikasi surat-surat mereka dalam bentuk antologi. Sementara itu, kelompok kedua terdiri atas 12 orang. Kelompok ini adalah mereka yang surat-suratnya sering dikutip oleh penulis surat pada masa selanjutnya.
Pengelompokan yang dilakukan Nadim menunjukkan bahwa kedudukan seorang penulis surat ditentukan oleh kefasihan bahasanya atau balaghah-nya. Hal ini juga berlaku bagi para orator yang biasanya mampu memberikan pengaruh besar bagi pendengarnya.
Sebenarnya, tradisi penulisan surat ini mewujud pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan tabiin. Namun, saat itu, penulisan surat belum menjadi sebuah seni yang memiliki tata cara tertentu yang terperinci.
Penulisan surat mulai menjadi sebuah keahlian baru pada masa Abd al-Hamid ibn Yahya, sekretaris terakhir Dinasti Umayyah. Lalu, banyak bermunculan penulis surat pada abad ke-8 hingga abad-abad berikutnya. Puncaknya, terjadi pada abad ke-10.
Baca: Seni Surat Menyurat dalam Peradaban Islam