Kamis 24 Jan 2019 14:43 WIB

Universitas Bergengsi AS Buang Peralatan Huawei

Universitas tidak lagi memakai Huawei untuk menghindari pemotongan anggaran.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Huawei
Foto: EPA
Huawei

REPUBLIKA.CO.ID, SAN FRANCISCO -- Universitas-universitas bergengsi di Amerika Serikat (AS) membuang peralatan-peralatan telekomunikasi yang dibuat Huawei dan perusahaan-perusahaan Cina lainnya. Hal ini mereka lakukan untuk menghindari pemotongan anggaran federal sesuai dengan undang-undang keamanan nasional baru yang digagas pemerintahan Donald Trump.

Pejabat University of California (UC) di Berkeley mengatakan pihaknya sudah membongkar sistem video-conference yang menggunakan peralatan dari Huawei. Sementara itu, UC di Irvine sedang mengganti lima peralatan audio-video yang  menggunakan produk dari Huawei. Universitas-universitas lainnya seperti University of Wisconsin sedang meninjau ulang pemasok peralatan telekomunikasi mereka.

UC di San Diego sudah melangkah lebih jauh lagi. Pada Agustus lalu melalui memo internal mereka, universitas tersebut mengatakan setidaknya selama enam bulan mereka tidak akan menerima hibah peralatan audio-video atau melakukan perjanjian dengan Huawei, ZTE, dan perusahaan Cina lainnya. Terakhir kali UC San Diego melakukan kerja sama dengan perusahaan Cina pada 12 Febuari 2018.

"Atas kekhawatiran yang berlimpah, UC San Diego memberlakukan moratorium selama enam bulan untuk memastikan kami memiliki waktu untuk memulai asesmen peralatan di kampus dan untuk mencegah kampus melakukan perjanjian apa yang nantinya dilihat tidak sesuai dengan National Defense Authorization Act (NDAA)," kata juru bicara UC San Diego Michelle Franklin, Kamis (24/1).

Pemerintah AS menuduh pabrik-pabrik telekomunikasi Cina memproduksi peralatan yang dapat membuat pemerintah Cina melakukan spionase terhadap pengguna di luar Cina, termasuk peneliti Barat yang sedang mengembangkan teknologi terbaru. Pemerintah dan perusahaan Cina berulang kali membantah tuduhan tersebut.

Universitas-universitas AS tidak memberitakan langkah mereka menghentikan penggunaan peralatan perusahaan Cina ini. Langkah tersebut menandakan mereka mulai memberikan jarak dengan perusahaan-perusahaan Cina yang selama bertahun-tahun memasok peralatan dan mensponsori penelitian akademik di universitas-universitas AS.

Langkah itu juga sebagai tanggapan terhadap NDAA yang ditanda tangani Trump bulan Agustus lalu. Undang-undang tersebut melarang lembaga yang menggunakan produk peralatan jaringan atau audio-video perusahaan Cina untuk menerima anggaran federal. Selain Huawei dan ZTE ada beberapa perusahaan Cina lainnya yang masuk daftar hitam seperti Hikvision, Hytera, Dahua Technology, dan perusahaan-perusahaan yang berafilasi dengan mereka.

Pemerintah AS khawatir produk-produk perusahaan Cina memiliki 'backdoor' yang dapat diakses militer dan pemerintah Cina dalam mencari informasi. Universitas AS yang gagal mematuhi NDAA pada Agustus 2020 tidak dapat menerima dana hibah pemerintah.

Hal itu dapat menjadi pukulan bagi institusi pendidikan negeri seperti University of California yang anggarannya selalu dipotong selama beberapa dekade terakhir . Pada tahun ajaran 2016/2017, UC menerima dana federal sebesar 9,8 miliar dolar AS. Hampir 3 miliar dolar AS digunakan untuk penelitian.

Menurut dokumen anggaran UC angka 3 miliar dolar AS itu hanya setengah dari total pengeluaran universitas untuk penelitian. Undang-undang baru ini menjadi salah satu strategi pemerintah Trump untuk menyerang balik pertumbuhan ekonomi Cina yang menurut mereka membahayakan perekonomian dan keamanan AS.

Trump sudah menaikkan tarif impor barang-barang Cina. Ia juga mempersulit perusahaan asing membeli saham minoritas perusahaan-perusahaan teknologi AS. Membuat investasi Cina di Silicon Valley turun drastis.

Sebagai tambahannya pada tahun lalu Trump menandatangani rancangan undang-undang yang melarang pemerintah AS menggunakan peralatan telekomunikasi dari Huawei dan ZTE. Ia juga sedang mempertimbangkan melakukan pelarangan terhadap perusahaan-perusahaan teknologi Cina lainnya.

Di tengah panasnya perselisihan antara AS dan Cina, pada awal Desember 2018 lalu, Kanada atas permintaan AS menahan Chief Financial Officer Huawei Meng Wanzhou. Kini Meng masih menjadi tahanan rumah di Kanada. Karyawan Huawei di Polandia juga ditangkap atas tuduhan spionase.

Huawei tidak menanggapi permintaan komentar atas pemutusan hubungan universitas-universitas AS. Sementara kampus-kampus AS mulai merasakan panasnya perselisihan AS-Cina ini.

Departemen Luar Negeri AS memperpendek visa mahasiswa asal Cina. Pemerintah AS juga sedang mempertimbangkan untuk memperketat izin masuk mahasiswa Cina yang ingin belajar di AS. Di sisi lain mahasiswa Cina menjadi mahasiswa internasional terbesar di AS dan memberikan keuntungan besar bagi universitas-universitas AS.

UC Los Angeles, UC Davis dan University of Texas di Austin juga sedang atau sudah melakukan  peninjauan terhadap peralatan telekomunikasi mereka agar tidak melanggar undang-undang NDAA. Direktur Ekspor Stanford University, Steve Eisner mengatakan pihaknya melakukan pemeriksaan dan 'beruntung' kampusnya tidak perlu membongkar peralatan apa pun.

Tapi bagi Stanford atau institusi pendidikan lainnya, Huawei tidak sekedar pemasok peralatan teknologi. Mereka sudah lama menjadi sponsor penelitian di puluhan kampus AS termasuk UC San Diego, University of Texas, University of Maryland, dan University of Illinois Urbana-Champaign.

NDAA tidak hanya melakukan pelarangan penggunaan peralatan. Undang-undang itu juga menciptakan regulasi yang akan membatasi kerja sama universitas AS dengan Cina. Undang-undang itu meminta Menteri Pertahanan untuk berkerja sama dengan universitas agar melindungi hak cipta dari pencurian dan menciptakan peraturan baru yang bertujuan untuk melindungi para peneliti dieksploitasi negara lain.

Universitas yang gagal memenuhi permintaan itu tidak akan menerima hibah dana federal. UC San Diego sudah menyoroti hal tersebut di buletin bulanan kampus mereka.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement