REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diskursus mengenai golput atau golongan putih mencuat. Pengamat menilai, gelombang kelompok yang memilih untuk tidak memilih pasangan calon pemimpin berawal dari kandidat calon itu sendiri.
Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran, Yusa Djuyandi mengatakan, golput merupakan pilihan politik ketika rakyat sebagai pemilik suara tidak menganggap para kandidat calon sebagai representasi kepentingan kolektif.
Sehingga, calon pemimpin yang tidak representatif dianggap tidak dapat menyelesaikan problematika yang ada di masyarakat. "Pemilih berpotensi menjadi Golput kalau para capres dan cawapres tidak bisa memberikan solusi," katanya kepada Republika.co.id, Kamis (24/1).
Menurutnya, hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh kedua pasang kandidat untuk membuktikan diri bahwa mereka yang terbaik untuk menjadi jawaban dari banyak pertanyaan di dalam benak rakyat. "Kalau perlu buat kontrak politik," ujarnya.
Selain itu, ia menilai bahwa gelombang golput berasal dari kubu pejawat. Menurutnya, golongan tersebut merasa bahwa ada beberapa hal yang belum dituntaskan Jokowi selama menjadi tonggak pemerintahan. "Mereka merasa ada yang kurang dari kinerja pemerintah," ucapnya.