REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat menyatakan, sekitar 90 persen orang utan berada di luar kawasan hutan lindung dan konservasi sehingga rawan konflik dengan manusia.
"Sehingga untuk menyelamatkan orang utan dibutuhkan komitmen bersama dalam melindungi habitat orang utan agar tidak rusak atau tetap ada," kata Kasubag TU BKSDA Kalbar, Lidia Lili, Jumat (25/1).
Ia menjelaskan, orang utan adalah satwa yang harus dilindungi semua pihak karena hanya ada di Indonesia dan sebagian kecil di Malaysia. Di Indonesia pun hanya ada di Pulau Kalimantan dan Sumatra.
"Dengan semakin majunya pemukiman, pembangunan jalan yang membuka daerah-daerah yang terisolasi serta kawasan hutan, kemudian perluasan perkebunan dan tambang tidak dipungkiri semakin mempersempit ruang gerak orang utan," ungkapnya.
Saat ini yang bisa dilakukan, yakni bagaimana memperlambat dan memperkecil dampak aktivitas manusia. "Sehingga ke depannya semua pihak harus bersinergi dengan baik dalam mencegah agar orang utan tidak semakin terjepit dan terus bisa hidup aman serta dilindungi agar tidak punah," ujarnya.
Menurut dia, tidak mudah melakukan hal tersebut. Ia mengundang berbagai pihak, mulai dari pengambil kebijakan, LSM peduli orang utan, pemerhati, akademisi dan pelaku usaha seperti dari perkebunan, dan tambang hadir dalam acara diseminasi kehidupan orang utan di lanskap multifungsi pada Jumat ini.
"Artinya dalam melindungi orang utan butuh dukungan semua pihak, karena kami tidak bisa bekerja sendiri dalam hal ini," katanya.
Acting Manager Protected and Conserved Areas sekaligus focal point untuk spesies orang utan WWF-Indonesia, Albertus Tjiu mengatakan upaya penetapan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) satwa liar yang saat ini dibahas secara langsung akan berkontribusi dalam mendukung target pencapaian nasional yang tertuang di dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) orang utan dan bekantan.