REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah amirul mukminin yang berarti pemimpin kaum Mukmin disematkan pada diri seseorang, yaitu orang yang berwenang memberikan perintah atau komando kepada pasukan selama zaman Nabi Muhammad SAW dan setelahnya. Dengan demikian, ini bermula pada masa awal Islam.
Pemerintahan Islam pada masa berikutnya mempertahankan penggunaannya. Makna lain juga muncul, misalnya, Ensiklopedia Islam menyebutkan amirul mukminin dilekatkan pada seseorang yang memegang kekuasaan dalam menyelenggarakan dan mengatur berbagai urusan pemerintahan Islam.
Kepemerintahan Islam kerap pula disebut dengan imarah dan kepala negaranya adalah amir. Sebutan amir tercetus sejak pertemuan di Saqifah Bani Saidah ketika merundingkan siapa yang menggantikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin dalam pemerintahan dan bidang agama.
Namun, selanjutnya pengganti Muhammad memperoleh gelar khalifah. Umar bin Khattab yang menggantikan Abu Bakar disebut khalifah Rasulullah SAW. Ini dianggap terlalu panjang, kemudian muncul kesepakatan untuk memanggilnya dengan gelar amirul mukminin.
Ini terungkap dari riwayat at-Thabari dan al-Yaqubi yang dikutip Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern. Orang pertama yang memanggil Umar dengan sebutan amirul mukminin adalah Abdullah bin Jasy. Tapi, pendapat lainnya menyebut Amr bin Ash. Sumber lain mengungkap nama Mughirah bin Syu'bah.
Pada masa-masa berikutnya, amirul mukminin digunakan oleh khalifah penerus Umar hingga Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Mengenai gelar ini, tak ada wacana eksplisit yang mengaitkannya dengan perintah dalam Alquran agar umat Islam mematuhi Allah, Rasul, dan pemimpin di antara mereka.
Pada masa Dinasti Umayyah yang diawali dengan pemerintahan Muawiyah, gelar ini lebih memiliki bobot ideologis. Selain kalender Hijriah dan kata bismillah, gelar ini tertera di atas mata uang logam. Mata uang Arab Sassaniyah awal tercantum kalimat "Muawiyah, amirul mukminin".
Penguasa Islam di Spanyol semula memperoleh gelar amir, yang bermula pada Abdurrahman ad-Dakhil. Penggunaan amirul mukminin baru berlangsung ketika Abdul Rahman III naik takhta yang bertahan hingga pemerintahan Umayyah di sana pudar pada 1031 Masehi.
Pemakaian gelar amirul mukminin semakin ditinggalkan setelah terjadi serangan Mongol terhadap pemerintahan Islam di Timur Tengah pada abad ke-13. Para penguasa Usmaniyah pada puncak kejayaannya pada abad ke-16 dengan beberapa pengecualian tidak mengklaim secara formal gelar tersebut.
Namun, amirul mukminin masih tetap memiliki warna ideologisnya pada komunitas Muslim di Afrika Barat. Nashir al-Din memaklumatkan diri sebagai amirul mukminin saat memimpin gerakan sosial religius di Mauritania. Gerakan ini hancur tiga tahun setelah kematian Nasir al-Din pada 1674.
Usman Dan Fodio yang mengobarkan gagasan reformis dan mesianis melawan pemerintahan di wilayah yang sekarang dinamakan Nigeria, yang dia anggap korup, juga diberi gelar amirul mukminin. Itu adalah salah satu gelar yang ia sandang.
Di kalangan Syiah, imam merupakan gelar bagi pemimpin negara yang berlangsung pada masa Ali bin Abu Thalib memerintah. Meski demikian, pada perkembangannya amirul mukminin kembali digunakan pada masa Ubaidullah al-Mahdi dan Qasim Muhammad Abdul Qasim di Maroko, misalnya, termasuk Dinasti Idrisiah di Maghrib serta al-Aqsa di Maroko.