REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Amnesty International Indonesia (AII) meminta Kepolisian Republik Indonesia untuk mengambil langkah proaktif dengan meninjau kembali keputusan penghentian penyelidikan kasus pelecehan seksual terhadap Baiq Nuril. Langkah ini penting dilakukan untuk menghindari persepsi publik bahwa kepolisian bertindak berat sebelah dalam menangani kasus tersebut
Direktur AII Usman Hamid mengatakan Polri harus memerintahkan Kepolisian Daerah NTB untuk melanjutkan perkara tersebut ke tingkat penyidikan. Pada 22 Januari 2019, Polda NTB menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP) atas laporan Baiq Nuril pada tanggal 19 November 2018.
"Dari dokumen SP2HP tersebut, polisi mengatakan bahwa pihaknya belum mendapati atau menemukan peristiwa pidana atas perbuatan cabul yang diduga dilakukan terduga pelaku terhadap Nuril," ujar Usman di Jakarta, Jumat (25/1).
Menurut Usman, penolakan laporan tersebut menjadi indikator gagalnya Kepolisian Daerah NTB dalam melindungi dan berpihak pada korban pelecehan seksual. Dokumen SP2HP kepada Nuril juga tersebut menyatakan peristiwa pelecehan seksual yang dialami Nuril belum didukung oleh saksi-saksi yang melihat, mendengar, dan mengetahui kejadian tersebut.
Seharusnya, kata Usman, polisi menelusuri apakah yang berbicara di rekaman tersebut adalah terduga pelaku yang dilaporkan Nuril, dan apakah ujaran verbal terduga pelaku kepada Nuril termasuk pelecehan seksual. "Yang lebih aneh, polisi mengatakan kepada penasihat hukum bahwa tindakan terduga pelaku tidak termasuk dalam kategori pelecehan seksual karena tidak terjadi kontak fisik antara mereka berdua," tambah Usman.
Pernyataan Polda NTB terkait dengan kategori pelecehan tersebut dikatakan Usman dapat menjadi alasan perlu adanya revisi terhadap undang-undang terkait untuk memperluas definisi pelecehan seksual yang juga memuat tindakan verbal ataupun tertulis.