Sabtu 26 Jan 2019 22:41 WIB

Nasaruddin Umar Dirikan NUO untuk Setop Potensi Radikalisme

Survei 2017, potensi radikalisme di Indonesia mencapai 55,12 persen.

Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar Melaunching Nasaruddin Umar Office (NUO), di Jalan Gaharu I, Cipete, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (26/1).
Foto: Republika/Rahmat Fajar
Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar Melaunching Nasaruddin Umar Office (NUO), di Jalan Gaharu I, Cipete, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (26/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar berupaya untuk menyetop berkembangnya potensi radikalisme di Indonesia. Salah satu upayanya dilakukan melalui pendirian Nasaruddin Umar Office (NUO) yang bergerak menyetop potensi radikalisme.

"Temuan kami di 2011, ada kekhawatiran tingkat pertumbuhan hardliners semakin bertambah. Dan kami tahu provinsi mana saja, meskipun rasanya mengherankan, tapi ya itu hasilnya," kata Nasaruddin, Sabtu (26/1).

Dari survei 2017, ia menemukan potensi radikalisme di Indonesia mencapai 55,12 persen. Dia menyebut harus ada upaya untuk mencoba mengerem pertumbuhan ini. "Karena dari tahun ke tahun kurvanya meningkat," ujar dia.

Nasaruddin menyebut Gorontalo, Bengkulu, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Utara masuk kategori memprihatinkan. Sedangkan Sulawesi Tengah berada di urutan bawah. Sehingga diperkirakan justru pendatang yang membawa bibit radikalisme sedangkan penduduk aslinya toleran. "NUO ingin memberikan pemikiran untuk bangsa ini, sekecil apapun diharapkan bisa menghadirkan sebuah ketenangan, kesejukan dan kedamaian untuk segenap warga negara," ujar dia.

NUO mewadahi lembaga-lembaga yang bertujuan menciptakan masyarakat sipil yang damai, toleran dan berkeadaban. Beberapa di antaranya The Nusa Institute, Balqis Foundation dan Pondok Pesantren Al-Ikhlas.

Survei 2018, dia justru menemukan kearifan lokal menjadi daya perekat sekaligus kontrol dan modal menangkal radikalisme. Dia mengatakan, banyak hal bisa menangkal tapi justru kearifan lokal sangat penting.

Namun masalahnya, pengetahuan tentang kearifan lokal ini dalam fase kritis. "Anak-anak milenial, karena mungkin sangat plural, sudah tidak paham," ujar dia.

Menurut dia, ini menjadi tantangan, bagaimana kearifan lokal dapat diangkat lagi ke permukaan. Memang ada kurikulum konten lokal, tapi itu dinilainya sangat sedikit. "Kami sarankan ini diperkuat," ujar Nasaruddin yang juga merupakan Direktur NUO.

Selain itu, ada pembinaan khatib dan imam masjid profesional, mengingat kekosongannya dapat menjadi celah bagi masuknya radikalisme ke masjid-masjid. Fokus selanjutnya adalah memberdayakan situs Islam moderat untuk menangkal situs-situs Islam radikal. Mengingat 80 persen situs ternyata dikuasai oleh kelompok radikal.

Terakhir, NUO juga memiliki program yang akan menjaring kalangan menengah atas untuk turut dalam kajian-kajian mereka. Banyak dari mereka merupakan pemilik perusahaan yang membawahi banyak karyawan. "Maka dampaknya akan terasa, karena akan ditularkan kepada pekerjanya tersebut," kata Nasaruddin.

Menurut dia, sebuah program dengan metode pembelajaran yang dipercaya  dapat diterima oleh kalangan ini.  "Mereka ingin belajar agama tapi tidak mau digurui, karenanya harus dialogis," ujarnya.

Sejumlah pejabat turut hadir pada peresmian NUO, di antaranya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin, Dirjen Bimas Islam Kemenag Muhammadiyah Amin, perwakilan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristedikti), serta tokoh lintas agama.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement