Ahad 27 Jan 2019 04:16 WIB

Referendum Hasilkan Otonomi Lebih Besar Bagi Muslim Moro

Undang-Undang Organik Bangsamoro (BOL) Filipina, secara resmi disahkan.

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Andri Saubani
Muslim Mindanao menggelar shalat berjamaah dekat Istana Presiden Filipina di Manila, saat berunjuk rasa menuntut kemerdekaan Bangsa Moro.
Foto: AP Photo/Bullit Marquez
Muslim Mindanao menggelar shalat berjamaah dekat Istana Presiden Filipina di Manila, saat berunjuk rasa menuntut kemerdekaan Bangsa Moro.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Wilayah mayoritas Muslim di Filipina selatan, Mindanao telah memenangkan suara "Ya" dalam referendum pekan ini. Referedum tersebut berisi tentang otonomi yang lebih besar bagi bangsa Muslim Moro, sehingga meningkatkan harapan untuk perdamaian di salah satu wilayah Asia yang paling dilanda konflik.

Dilansir Channel News Asia edisi Sabtu (26/1), Undang-Undang Organik Bangsamoro (BOL) Filipina, yang bersejarah itu secara resmi disahkan pada Jumat (25/1) waktu setempat. Komisi Pemilihan Umum (Comelec), yang berfungsi sebagai Dewan Canvasser Plebisit Nasional (NPBOC) mengatakan, 85 persen mengatakan "Ya" untuk menciptakan daerah yang dikelola sendiri di bagian Mindanao.

"Sementara sebanyak 190 ribu suara menolak undang-undang tersebut," kata laporan Comelek.

Pengumuman tersebut dikeluarkan setelah pemungutan suara resmi diselesaikan pada Jumat malam. Pengesahan BOL menandakan Wilayah Otonomi di Mindanao Muslim (ARMM) di Filipina Selatan akan diganti dengan Wilayah Otonomi Bangsamoro di Mindanao Muslim (BARMM). Hal ini pun membuka jalan bagi transisi tiga tahun menuju pemilihan untuk badan legislatif yang akan pilih seorang eksekutif.

Pemungutan suara dimulai pada Senin (21/1) di Provinsi Maguindanao, Lanao Del Sur, dan Provinsi Pulau Basilan, Tawi-tawi dan Sulu serta Kota Besar Cotabato dan Isabela. Sementara tahap kedua BOL akan diselenggarakan pada 6 Februari mendatang. Enam kota kecil di Lanao del Norte dan 39 desa di enam kabupaten Provinsi Cotabato dan daerah sekitarnya akan memberi suara dalam keikut-sertaan mereka di wilayah otonomi.

Pemungutan suara yang dilakukan Senin (21/1) merupakan puncak dari proses perdamaian yang penuh gejolak antara separatis dan pemerintah. Referedum ini juga bertujuan menyelesaikan konflik selama beberapa dekade yang telah menghambat pembangunan.

Ketidakstabilan dan tingginya tingkat pengangguran dan pemuda yang tidak bersekolah, membuat daerah subur itu membuat perekrutan untuk bandit dan ekstrimis Islam. Mereka mengeksploitasi keluhan tentang pengabaian negara dan memicu dengan membuat narasi kepalsuan soal pemerintah dalam proses perdamaian.

Oleh karenanya, pengesahan Undang-Undang oleh sekitar 1,74 juta di wilayah baru yang disebut Bangsamoro (bangsa Moros) itu akan memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menghasilkan dan menginvestasikan lebih banyak uang dalam infrastruktur, sekolah, perawatan kesehatan dan kesejahteraan sosial bagi sekitar lima juta penduduknya, sehingga para pemudanya tak terbengkalai.

Berdasarkan undang-undang itu, pengadilan Hukum Islam akan dibuka di wilayah tersebut, dan Pemerintah Pusat Filipina akan menyerahkan wewenang administrasinya di Mindanao kepada Pemerintah Bangsamoro. Perairan di Wilayah Bangsamoro akan secara bersama dikelola oleh Pemerintah Nasional dan Pemerintah Bangsamoro. Pemerintah Otonomi akan bertanggung-jawab dalam pengelolaan sumber daya energi.

Pemerintah pusat akan mengawasi pertahanan, keamanan, dan kebijakan luar negeri serta moneter, dan segera menunjuk otoritas transisi yang dinominasikan oleh Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Wakil Presiden Filipina Leni Robredo mengatakan, sangat penting pemerintah pusat membantu Bangsamoro membangun ekonomi progresif dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab.

"Mari kita jaga dan dukung kemajuan proses ini karena ini belum akhir dari perjuangan untuk perdamaian," kata Robredo.

Seperti diketahui, pemungutan suara untuk referedum ini dilakukan pada saat kritis Filipina, yang membuat faksi-faksi MILF kecewa melepaskan diri dan mengikuti kelompok-kelompok bersenjata lainnya dalam berjanji setia kepada ISIS. Hal itu memicu kekhawatiran bahwa para pejuang yang melarikan diri dari Irak dan Suriah akan bergabung dengan kaum radikal dari Malaysia dan Indonesia untuk beralih ke Mindanao untuk memanfaatkan perbatasan berpori, hutan dan gunung, dan memersiapkan banyak senjata.

Undang-undang darurat telah diberlakukan di Mindanao sejak aliansi ekstremis menyerbu Kota Marawi pada 2017 dan mendudukinya selama lima bulan. Kala itu terjadi konflik paling sengit dan terpanjang di Filipina sejak Perang Dunia Kedua.

Militer mengatakan, tiga sisa aliansi itu terbunuh pada Kamis ketika pasukan menemukan kamp di hutan. Militer merilis gambar parit dan apa yang dikatakannya adalah perlengkapan ISIS.

Mohagher Iqbal, negosiator perdamaian utama MILF, mengatakan di TV pada Kamis bahwa ia berharap serpihan radikal dari kelompok separatis, seperti yang dimiliki Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro (BIFF), akan mengakui keinginan rakyat untuk perdamaian.

"Salah satu pemimpin BIFF telah dijangkau," katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement