Selasa 29 Jan 2019 22:16 WIB

Nasib Pendidikan Anak-Anak Pengungsi Palestina Terancam

Israel dilaporkan berencana menutup dua sekolan UNRWA di Shuafat.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Seorang anak di kawasan pengungsian korban konflik di Palestina
Foto: VOA/AFP
Seorang anak di kawasan pengungsian korban konflik di Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Terdapat satu kamp pengungsi di Yerusalem Timur, Shuafat yang terabaikan. Di sana, anak-anak bermain di jalan yang penuh dengan sampah dan air limbah. Sementara remaja terpaksa berhenti sekolah untuk bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah.

Ada sekitar 24 ribu pengungsi di Shuafat. Mereka mengungsi sejak 1948 dari ibu bapak dan nenek kakek mereka. Para pengungsi terkungkung di antara dua pos pemeriksaan beton setinggi delapan meter yang mengelilingi kamp.

Desas-desus pemberitaan soal rencana Israel menutup dua sekolah dari Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (UNRWA) di Shuafat, menambah bahan bakar ke dalam api yang telah memanas di sana. Sekolah-sekolah di antara para pengungsi tersebut bebas biaya dan menawarkan secercah harapan yang bermakna dalam situasi sulit di sana, meskipun masih kurang dalam organisasi dan kapasitas pelayanan.

"Semua teman saya ada di sekolah. Saya mencintai guru saya. Kami menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah daripada di rumah," kata Zuhoor al-Tawil, seorang siswa berusia 14 tahun di Shuafat Girls School, yang dioperasikan oleh badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA.

"Mengapa mereka tidak menunggu sampai kita lulus dan kemudian menutupnya?" al-Tawil bertanya kepada Middle East Eye.

photo
Gadis-gadis Palestina berdiri di tenda pengungsian di dekat Rumah Sakit Al Shifa, Gaza, Rabu (6/8).

Dalam serangan terakhir ke pengungsi Palestina dan sistem pendidikan di Yerusalem Timur yang diduduki, media Israel melaporkan pekan lalu bahwa Israel akan menutup sekolah-sekolah PBB yang melayani kamp-kamp pengungsi Palestina di seluruh kota. Menurut media Israel, Dewan Keamanan Nasional Israel akan mencabut izin sekolah yang dioperasikan oleh UNRWA dari awal tahun ajaran berikutnya.

Sekolah-sekolah yang dikelola oleh badan PBB dilaporkan akan digantikan oleh sekolah-sekolah yang dioperasikan kotamadya Yerusalem, dengan menggunakan kurikulum kementerian pendidikan Israel.

UNRWA beroperasi sejak 1949 mengelola enam sekolah di Yerusalem dan menampung hampir 3.000 siswa. Badan ini juga mengelola pusat kesehatan, dan asosiasi perempuan dan pemuda, serta menyediakan layanan bantuan dan perlindungan.

Menanggapi laporan tersebut, UNRWA merilis pernyataan yang mengatakan tidak diberitahu tentang keputusan untuk menutup sekolah seperti yang telah dilayangkan Israel. "Tidak ada titik sejak 1967 memiliki otoritas Israel menantang dasar di mana badan tersebut mempertahankan dan mengoperasikan tempat di Yerusalem Timur," kata pernyataan itu.

Meskipun UNRWA mengecam, Badan PBB berusaha tidak berbicara tentang "skenario B" jika Israel memang bulat memutuskan menutup sekolah atau membatasi operasi UNRWA di sekolah.

Juru bicara UNRWA Sami Mshasha mengatakan, ada 60 ribu pengungsi Palestina di Yerusalem. Sebagian besar dari mereka berada di bawah garis kemiskinan. Menurut data PBB, ada tingkat pengangguran yang sangat tinggi, khususnya di kalangan kaum muda. "Jika kita dipindahkan dari Yerusalem, kualitas hidup orang-orang ini akan berkurang parah dan mereka akan menderita," ujar Mshasha.

Direktur eksekutif Komite Populer Kamp Shuafat, Mohannad Masalameh mengatakan, fasilitas sekolah di Shuafat lebih baik dari pada sekolah lain. Hal itu meski sekolah-sekolah PBB menghadapi kekurangan staf yang parah akibat pemotongan dana baru-baru ini oleh pemerintah AS.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement