Rabu 30 Jan 2019 03:18 WIB

Pakar: Kasus Ahmad Dhani Berbahaya Jika Jadi Yurisprudensi

Ahmad Dhani telah divonis 1,5 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Terpidana kasus ujaran kebencian Ahmad Dhani berada di mobil tahanan seusai menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (28/1/2019). Majelis hakim memvonis Ahmad Dhani dengan hukuman satu tahun enam bulan penjara, dan atas putusan hakim tersebut kejaksaan langsung menahan terpidana.
Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Terpidana kasus ujaran kebencian Ahmad Dhani berada di mobil tahanan seusai menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (28/1/2019). Majelis hakim memvonis Ahmad Dhani dengan hukuman satu tahun enam bulan penjara, dan atas putusan hakim tersebut kejaksaan langsung menahan terpidana.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir menilai kasus ujaran kebencian Ahmad Dhani akan berbahaya jika kemudian menjadi yurisprudensi. Pejabat-pejabat negara dan warganet yang mengungkapkan kata-kata seperti dilontarkan Dhani, juga dapat dipidana.

"Ini bahaya kalau menjadi yurisprudensi. Dan akan menjadi malapetaka Republik Indonesia. Kebebasan menyampaikan pendapat seperti itu dipidana, dan kalau ada kalimat-kalimat yang kasar bisa dipidanakan semuanya," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (29/1).

Baca Juga

Bahkan, menurut Muzakir, bukan tidak mungkin 10 sampai 15 persen pengguna media sosial (medsos) dapat dikenakan pidana hanya karena menyampaikan ungkapan caci-maki. Termasuk pejabat-pejabat negara yang kerap melontarkan pernyataan tidak benar.

"Di medsos, kalimat komentarnya kan macam-macam. Pidanakan semuanya. Polisi jangan diskriminasi. Begitu melihat orang berkomentar seperti Dhani, tangkap, pidanakan seperti Dhani. Barang kali pengguna medsos 10 sampai 15 persen bisa dipenjara semua. Maka, jangan sampai ini jadi yurisprudensi," ungkapnya.

Muzakir menjelaskan, sebetulnya ada tahapan-tahapan dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana ujaran kebencian. Tahapan tersebut yaitu kode etik pribadi, kode etik, kode etik organisasi atau grup, kode etik masyarakat, dan kode etik bernegara.

"Baru yang terakhir itu adalah perbuatan melawan hukum dalam konteks bernegara. Jadi tidak boleh lompat. Misalnya etika pribadi tiba-tiba lompat menjadi perbuatan melawan hukum pidana, kan keliru juga. Jadi penegakan hukum dalam kaitan dengan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), harus itu palang pintunya," tutur dia.

Jika semua perkataan kasar dipidanakan tanpa ada "palang pintu" berupa tahapan etik tersebut, papar Muzakir, maka khawatir akan terjadi kriminalisasi terhadap pihak lain. Menurut dia, perbuatan Dhani justru paling maksimal melanggar kode etik masyarakat dan belum termasuk perbuatan melawan hukum.

"(Perbuatan) Dhani itu baru tahapan ketiga, melanggar kode etik masyarakat. Dia orang Jawa Timur, Surabaya, kata-kata itu sebagai sesuatu yang biasa. Mereka cara ngomongnya begitu," kata dia.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus bahwa Dhani terbukti melakukan tindak pidana yang diatur ancaman hukuman pidana pada pasal 45A ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE juncto pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ahmad Dhani dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara.

Dalam akun Twitter-nya, pertama Dhani menulis, 'Yang menistakan agama si Ahok...yang diadili KH Ma'ruf Amin.' Lalu kedua berbunyi 'Siapa saja dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya - ADP.' Dan ketiga berbunyi 'Kalimat sila pertama KETUHANAN YME, PENISTA Agama jadi Gubernur...kalian WARAS??? - ADP.'

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement