REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin optimistis kenaikan indeks persepsi korupsi (IPK) bakal mendongkrak elektabilitas calon presiden pejawat itu. Ia menyatakan sukses KPK mengungkap sejumlah kasus korupsi menunjukkan keberhasilan pemerintah.
“Jadi begini kadang ada persepsi yang salah bahwa di era Jokowi itu banyak yang ditangkap KPK justru sebenarnya ini prestasi pemerintah dan KPK,” kata Juru Bicara TKN Irma Suryani Chaniago, Selasa (29/1).
Irma menjelaskan Jokowi sangat berkomitmen dalam pemberantasan korupsi yang tidak tersentuh pada era sebelumnya. Ia mengatakan, Jokowi memberikan ruang yang cukup kepada KPK untuk melaksanakan fungsinya, baik dalam hal pencegahan dan penindakan.
Ia menerangkan selama ini, ada orang-orang yang tidak tersentuh hukum justru berhasil terungkap oleh KPK pada era pemerintahan Jokowi-JK. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mengintervensi penegakan hukum.
Tidak hanya itu, ia mengatakan, pemerintah memberikan ruang besar untuk KPK untuk penindakan pencegahan. “Maka itulah hasilnya. Diharapkan dengan contoh yang begitu banyak, ini menjadi efek jera buat yang lain. Itu tujuannya,” kata dia.
Transparency International Indonesia (TII) merilis Corruption Perception Index (CPI) alias Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2018 pada Selasa kemarin. Hasilnya, IPK Indonesia menunjukkan kenaikan tipis yaitu naik 1 poin dari 37 pada 2017 menjadi 38 pada 2018.
"IPK Indonesia tahun 2018 berada di skor 38 dan berada di peringkat 89 dari 180 negara yang disurvei. Angka ini meningkat 1 poin dari 2017 lalu," kata peneliti TII Wawan Suyatmiko dalam presentasi Corruption Perceptions Index 2018 di gedung KPK Jakarta, Selasa.
IPK 2018 mengacu pada 9 survei dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. "Indonesia punya skor yang sama dengan Bosnia Herzegovina, Sri Langka dan Swaziland," tambah Wawan.
Di Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat ke-4, di bawah Singapura (skor 85), Brunei Darusallam (skor 63) dan Malaysia (skor 47). Negara ASEAN yang peringkat dan skornya di bawah Indonesia adalah Filipina (36), Thailand (36), Timor Leste (35), Vietnam (33), Laos (29), Myanmar (29) dan di peringkat buncit adalah Kamboja (20).
Bila dilihat dari sumber data, rendahnya IPK Indonesia lagi-lagi berasal dari IMD World Competitiveness Yearbook (turun dari 41 poin pada 2017 ke 38 poin pada 2017), dan Varieties of Democracy Project (turun dari 30 poin pada 2017 ke 28 poin pada 2018).
IMD World Competitiveness Yearbook memuat komponen faktor-faktor kompetitif untuk melakukan bisnis di suatu negara mencakup kinerja Perekonomian, efisiensi, efisiensi bisnis dan infrastruktur. Sedangkan Varieties Democracy Project mencakup 7 prinsip demokrasi di suatu negara.
Sementara penilaian yang mengalami peningkatan adalah Global Insight Country Risk Ratings (dari 35 poin pada 2017 ke 47 poin pada transkrip 47), dan PERC Asia Risk Guide (dari 32 poin pada 2017 ke 33 poin pada 2018). Satu hal lain yang disoroti adalah World Justice Project ¿ Rule of Law Index yang mengukur ketaatan satu negara dalam penegakan hukum tetap rendah yaitu pada 20 poin atau stagnan seperti pada 2017.
"Penting diperhatikan bahwa proses kemudahan berusaha, perizinan, investasi menjadi daya ungkit besar untuk naikkan IPK sedangkan 'IMD World Competitiveness Yearbook' banyak bicara relasi pebisnis dan politisi termasuk juga World Justice Project adalah terkait korupsi politik yang menjadi penghalang kenaikan IPK kita," tegas Wawan.