REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Awalnya, jumlah umat Muslim di Burundi diperkirakan hanya mencakup satu persen dari populasi. Namun, berdasarkan sensus terakhir, diperoleh data bahwa populasi umat Islam antara 8 hingga 10 persen. Dengan begitu, amatlah wajar jika umat mendapatkan peluang lebih besar untuk berkontribusi di tengah masyarakat.
"Saya kira, pemerintahan yang baru ini mencoba mendekatkan diri kepada rakyat serta mewujudkan rekonsiliasi permanen, kata Yusuf Sindatigaya, salah seorang tokoh Muslim, kepada BBC Network.
Baca: Muslim Burundi Berjuang Peroleh Pengakuan
Mewakili umat Muslim, Yusuf menyatakan kegembiraan serta rasa syukur tak terhingga. Sangatlah beralasan mengingat di masa lalu mereka seolah kehilangan harapan karena tidak memperoleh kesempatan merayakan hari besar agama di hari libur, sebagaimana yang pantas mereka dapatkan.
Tiada yang ingin peristiwa kelam masa lalu berulang. Ketika pertumpahan darah seakan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sangat sulit dipahami, sambung Yusuf, bahwa kejadian tersebut lebih dipicu oleh perbedaan ras, etnis, atau budaya.
Pemerintah juga menekan kelompok agama. Padahal, jika lebih bijaksana melihat kenyataan, agama bisa menjadi kunci meredam konflik. Dan kini, ujar Yusuf, dengan harapan dan semangat baru, diharapkan seluruh elemen dapat menjaga kebersamaan.
Baca: Burundi Akui Eksistensi Umat Islam
Alimasi Omari, warga Burundi, mendukung kebijakan pemerintah untuk menjadikan Idul Fitri sebagai hari libur nasional. "Saya kira sudah sewajarnya setiap hari besar agama menjadi hari libur nasional, ini untuk menghormati pemeluk agama, katanya.
Dia berpendapat, keputusan itu tidak akan menimbulkan masalah atau ketegangan, kecuali ada pihak-pihak yang memang bermasalah. Sebab, makna agama adalah menghadirkan rasa cinta dan damai. Kita sudah menyaksikan Burundi mencoba melakukan itu sejak 10 tahun terakhir, semoga kita dapat segera mewujudkannya.