REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Pakar hukum dari Universitas Riau Dr Erdianto Effendi mengatakan pedagang satai daging babi Bustami dan istrinya Devi di Kota Padang, Sumatera Barat, dapat diancam penjara lima tahun dan denda Rp 2 miliar. Keduanya sudah merugikan konsumen karena berbohong tentang daging yang digunakan di satai.
"Ancaman hukuman tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya pasal 62 ayat 1, karena konsumen telah dirugikan," kata Erdianto, di Pekanbaru, Kamis (31/1).
Pendapat demikian disampaikannya terkait temuan Disperindag Kota Padang, Sumbar, penjual satai daging babi di Simpang Haru, Kota Padang. Pada Jumat (25/1), Disperindag Kota Padang melakukan uji sampel dan dinyatakan positif satai tersebut adalah daging babi.
Menurut Erdianto, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diberlakukan khususnya pasal 4 butir a, tercantum bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa. Ia mengatakan, pelanggan juga berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa pada pasal 4 (butir c).
"Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen khususnya pasal 4 butir a, tercantum bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. Pelanggan juga berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (butir c)," katanya lagi.
Erdianto mengatakan, kasus ini tidak diatur dalam KUHP, akan tetapi diatur dalam UU yang bersifat khusus yakni UU Perlindungan Konsumen dan UU Pangan. Ia menjelaskan, berikutnya pada pasal 7 menuliskan kewajiban pelaku usaha, di antaranya beriktikat baik dalam melakukan kegiatan usahanya (butir a) serta memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa (butir b).
"Bahkan dalam pasal 8 butir f berbunyi bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut," katanya pula.
Selain sanksi pidana diatur dalam pasal 62, berikutnya dalam pasal 63 menjelaskan bahwa pelaku dapat dijatuhi hukuman tambahan berupa perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, atau pembayaran ganti rugi. Bisa juga berupa perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbul kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, sampai pencabutan izin usaha.
Berikutnya, katanya menjelaskan, kasus ini juga telah melanggar Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga mengatur mengenai hal ini. Pada pasal 100 poin 1, tertulis bahwa setiap label pangan yang diperdagangkan wajib memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.
Setiap orang juga dilarang memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar dan atau menyesatkan pada label (poin 2). "Bagi yang melanggar dapat berakibat sanksi seperti yang tercantum di pasal 144, yakni pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp 6 miliar," katanya.