Kamis 31 Jan 2019 19:36 WIB

Empat Catatan PKS Soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Salah satu poin adalah mengganti nomenklatur kekerasan seksual jadi kejahatan seksual

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bayu Hermawan
Aksi menolak kekerasan seksual (ilustrasi)
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Aksi menolak kekerasan seksual (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI angkat bicara perihal penyusunan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Fraksi PKS memberikan beberapa catatan perubahan dalam naskah rancangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

F-PKS yang diwakili oleh sebagai Pimpinan Panja RUU P-PKS Komisi VIII DPR RI Iskan Qolba Lubis mengatakan, pihaknya mengajukan empat poin perubahan yang dapat menjadi pertimbangan dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut. Perubahan pertama adalah pergantian nomenklatur 'kekerasan seksual' menjadi 'kejahatan seksual'.

"Perubahan ini bermaksud agar ada batasan yang tegas perihal unsur-unsur tidak pidana, kami beranggapan nomenklatur kejahatan seksual lebih sesuai untuk digunakan dibandingkan kekerasan seksual, pertimbangan selanjutnya untuk menjaga konsistensi penggunaan istilah yang digunakan dalam undang-undang yang menggambarkan objek yang sama," jelasnya.

Iskan melanjutkan, penggunaan nomenkaltur yang konsisten menjadi penting agar RUU P-KS ini dapat berkorelasi dengan perundang-undangan lainnya. Hal ini, lanjut Iskan, juga untuk mendorong agar RUU tersebut dapat diaplikasikan secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Penyusunan Undang-undang dimaksud harus dilakukan dengan mengedepankan asas kehati-hatian agar upaya penghapusan terhadap kejahatan seksual tidak hanya dirumuskan secara normatif, tetapi juga dapat diterapkan secara implementatif," katanya.

Hal itu mengingat materi muatan yang dimaksud dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kejahatan Seksual ini bersinggungan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. "Maka perlu dilakukan sinkronisasi misalnya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI ini.

Perubahan kedua yang diajukan oleh F-PKS adalah perubahan definisi dari kekerasan seksual itu sendiri. Iskan menuturkan definisi yang dirumuskan dalam RUU P-KS ini masih ambigu sehingga menimbulkan keraguan, kekaburan, dan ketidakjelasan. “Ketidakejalasan definsi ini dalam kontruksi hukum sangat menyulitkan sehingga akan rawan kriminalisasi ke depannya," ujarnya.

Dengan demikian, Fraksi PKS mengajukan usulan definisi menjadi "Kejahatan Seksual adalah setiap perbuatan seksual terhadap tubuh dan fungsi reproduksi, secara paksa, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, bahkan kehilangan nyawa".

Perubahan ketiga yang disoroti oleh Fraksi PKS berkaitan dengan peran pemerintah untuk melakukan langkah-langkah preventif terhadap kejahatan seksual. Diantaranya menurut Iskan adalah dengan mewajibkan kepada pemerintah untuk memerangi pornografi, peredaran ilegal narkotika dan psikotropika, serta minuman keras sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pencegahan kejahatan seksual.

Terakhir, F-PKS mengajukan untuk menambahkan nilai "Ketuhanan Yang Maha Esa" menjadi asas pertama dalam Rancangan Undang-undang tersebut.

"Ketaatan terhadap ajaran Agama yang dianut dapat menimbulkan kesadaran hakiki seseorang untuk senantiasa berbuat baik dan menghindari perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat seseorang karena dianggap sebagai perbuatan dosa. Hal ini sejalan pula dengan maksa filosofis Sila ke-2 Pancasila yang dijiwai oleh Sila ke-1. Oleh karena itu, FPKS mengusulkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dimasukan dalam Pasal 2 RUU," tegasnya.

Secara pribadi Iskan menambahkan, kelemahan RUU P-KS ini adalah memberikan ruang bagi tindakan imoral selama dalam koridor tidak ada paksaan seperti perilaku zina, penyimpangan seksual dan aborsi.

"Kelemahan RUU P-KS memberi ruang bagi kebebasan perzinaan, perilaku dan penyimpangan seksual lain. Termasuk berpotensi melegalkan prostitusi dan aborsi selama tidak ada paksaan. Selain itu bentuk mengatur pakaian perempuan sebagai bagian dari moral akan dianggap kekerasan seksual. Ruh Indonesia harus masuk dalam RUU ini sehingga tidak ada tafsir harfiah yang tidak selaras nilai-nilai Indonesia," jelasnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement