REPUBLIKA.CO.ID, Menjauhi isbal (berbusana melebihi mata kaki), bagi sebagian kalangan dipahami sebagai perintah yang wajib dilakukan. Ini memunculkan beberapa fenomana baru tentang tatacara berbusana, terutama bagi kaum Adam, seperti gambaran celana, jubah, atau apapun di atas mata kaki alias celana cingkrang? Benarkah larangan isbal itu mutlak tanpa ada pengecualian sama sekali?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Lembaga Fatwa Dar al-Ifta Mesir membeberkan pandangan dari sejumlah literatur ulama empat mazhab fikih.
Sejumlah hadis memang menunjukkan larangan berisbal bagi laki-laki. Di antaranya hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW bersabda, ”Busana yang melebihi dua mata kaki maka (pemakainya) di dalam neraka.”
Akan tetapi, menurut Dar al-Ifta’, larangan berisbal tersebut tidaklah mutlak karena dibatasi dengan hadis lain yang memberikan pembatasan, yaitu berisbal yang dilarang apabila disertai dengan rasa angkuh, sombong, dan membanggakan diri dengan busana dan apapun yang dimiliki.
Dalam tradisi sejumlah lapisan masyarakat, pada masa itu, panjang busana dijadikan sebagai tolok ukur bagi kualitas dan strata sosial yang bersangkutan. Hadis riwayat Bukhari dari Abdullah bin Umar RA menyebutkan demikian, yaitu barang siapa yang memanjangkan pakaiannya karena sombong (khuyala’), Allah tidak akan melihatnya kelak pada hari kiamat.
Abu Bakar lantas berkata,”Seseorang memanjangkan bajuku agar rileks, apakah ini termasuk?” Rasulullah menjawab,”Engkau (Abu Bakar) tidak melakukannya karena kesombongan.”
Pembatasan tersebut juga telah menjadi kesepakatan para ulama. Isbal yang diharamkan adalah isbal yang memang mengandung unsur kesombongan, keangkuhan, dan glamoritas.
Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah, yang bercorak Hanafi, disebutkan bahwa isbal busana bagi laki-laki selama tidak dimaksudkan untuk kesombongan, hukumnya adalah makruh tanzih (makruh yang dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang bisa merusak kehormatan).
Menurut Imam Abu al-Walid al-Baji al-Maliki, dalam kitab al-Muntaqa, sabda Rasul “Barang siapa yang memanjangkan busananya karena sombong”, itu sangat berkaitan dengan unsur sombong.
Sedangkan memanjangkan busana karena memang busananya panjang, atau tidak menemukan baju lain, atau kerena alasan tertentu, maka tidak termasuk isbal yang diperingatkan.
Syekh Zakariya al-Anshari dalam kitab Asna al-Mathalib yang bercorak Syafi’I menjelaskan memanjangkan busana melebihi mata kedua mata kaki karena sombong, hukumnya memang haram. Dan jika dilakukan karena selain kesombongan hukumnya adalah makruh.
Imam Ibnu Quddamah al-Hanbali dalam kitabnya al-Mughni, mengatakan memanjangkan busana berupa jubah atau celana hingga mata kaki, hukumnya makruh. Jika hal itu dilakukan karena keangkuhan maka hukumnya adalah haram.
Pembatasan isbal yang dilarang dengan unsur kesombongan ini juga disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab Syarh ‘Umdat al-Fiqh.
Pada pengujung pemaparan, Dar al-Ifta’ menegaskan isbal yang dilarang adalah yang mengandung unsur kesombongan, keangkuhan, dan glamoritas.
Jika tidak terdapat unsur tersebut maka tidaklah haram, apalagi adat atau tradisi pada era sekarang tidak selalu busana di bawah mata kaki memiliki keterkaitan dengan kesombongan. Berbeda dengan tradisi yang berlaku pada masa itu.