REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan isi rancangan undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual fokus pada pemenuhan hak korban.
“RUU itu isinya lebih fokus ke korban. Selama ini, produk UU kita lebih memikirkan penghukumannya atau tindak pidananya,” kata komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin kepada Republika.co.id, Kamis (31/1).
Dia menjelaskan RUU P-KS mengatur ihwal bagaimana korban kekerasan seksual bisa diidentifikasi jenis kekerasan seperti apa yang mereka alami. Dengan demikian, para penegak hukum menjadi mudah memberikan pemulihan dan pencegahan.
Mariana mengatakan RUU P-KS berangkat dari pengalaman Komnas Perempuan dan lembaga layanan korban kekerasan perempuan dalam mendapatkan keadilan. Dia mencontohkan, seorang korban pemerkosaan harus mengantongi hasil visum untuk membuktikan diri sebagai korban sesuai KUHP. Kemudian, apabila hasil visum membantah seseorang mengalami pemerkosaan, maka kesaksian korban tidak terbukti. “Kan susah kalau misalnya di visum terbukti nggak terjadi pemerkosaan,” ujar dia.
Terkait tudingan RUU P-KS mendukung LGBT, Mariana menganggap hal itu hanya kesimpulan dari pihak yang menentang pengesahan RUU P-KS.
“Kalau LGBT, itu kesimpulan dari mereka. Karena kita menuliskan ada istilah-istilah yang mungkin mereka tak pahami,” kata dia.
Mariana menolak anggapan RUU P-KS memiliki pemaknaan yang ambigu dan multitafsir. Sebab, dia menangkap keberatan terhadap RUU P-KS lebih pada kesusilaan. Dia mengingatkan, kesusilaan sudah memiliki regulasi yang lengkap. Sementara RUU P-KS, lebih berpihak pada korban kekerasan seksual.
Mariana mengatakan Komnas Perempuan dan lembaga pendamping korban kekerasan terbuka mendiskusikan dan mengonfirmasi isi RUU P-KS tersebut. “Itu mungkin lebih baik dialog untuk kita sama-sama memahami bahwa maksudnya bukan ke sana, itu terlalu jauh,” ujar dia.