REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Sulawesi Tengah menilai lima poin tuntutan sekaligus petisi oleh warga korban gempa dan likuefaksi Kelurahan Balaroa, Kota Palu, merupakan hal yang realistis. Tuntutan tersebut mengemuka dalam rapat akbar ribuan warga korban likuefaksi Balaroa di Lapangan Sport Center, Sabtu.
"Kelima tuntutan itu realistis dan masuk akal," ucap Ketua Komnas-HAM Perwakilan Sulawesi Tengah Dedi Askary, di Palu, Sabtu.
Rapat akbar itu digagas oleh Forum Korban Bencana Gempa dan Likuifaksi Balaroa. Dalam pertemuan tersebut mereka menolak hunian sementara dan menginginkan dana tersebut dikompensasikan kepada korban. Korban juga menginginkan segera dibangunkan hunian tetap di wilayah kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat.
Korban pun menuntut dipercepatnya pembayaran dana santunan bagi korban jiwa kepada ahli waris. Korban juga menuntut hak-hak keperdataan atas lahan yang terdampak gempa bumi dan likuifaksi harus jelas ganti ruginya.
Terakhir, mereka mendesak agar proses pendistribusian sembako merata dan berbasis data melalui pemerintah kelurahan sehingga bisa dirasakan oleh korban bencana gempa bumi dan likuifaksi Balaroa.
Komnas HAM Sulteng menilai pembangunan hunian sementara untuk korban gempa dan likuefaksi hanya memperpanjang penderitaan warga.
"Apalagi huntara yang dibangun pemda dengan beratap seng seperti sekarang, itu sama seperti mengisi manusia ke dalam oven. bertahan didalam pagi hingga sore, korban bisa dehidrasi," kata Dedi.
Ia mengatakan memilih tahapan transisi darurat ke rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan pilihan lain dari dua skema yang ada. Alternatif lainnya ialah skema tanggap darurat lalu langsung pemulihan dan pembangunan kembali.
"Tentunya tidak akan ada yang namanya huntara, yang dilakukan langsung adalah pembangunan huntap," kata dia.
Dedi mempertanyakan dipilihnya skema transisi darurat ke pemulihan oleh pemerintah. Ia menduga skema itu dipilih karena ada pengadaan anggaran di balik program pembangunan huntara.
"Bayangkan alokasi anggaran untuk bangun huntara yang diambil dari pagu anggaran Kementerian PUPR, hampir Rp800 miliar. Apa yang bisa kita tangkap dari hal tersebut adalah peluang untuk menggerogoti alokasi anggaran dimaksud sangat besar, lihat saja proyek spam yang di OTT oleh KPK," ujar Dedi.
Selain risiko korupsi dana pembangunan huntara, Dedi mengatakan skema transisi darurat ke rehabilitasi lebih tidak efisien. Ia menganggap akan lebih bermanfaatjika anggaran sebesar itu dipakai menfasilitasi penyediaan aset-aset penghidupan masyarakat yang hancur saat dihantam bencana empat bulan yang lalu.