Ahad 03 Feb 2019 06:07 WIB

Arti Keterlibatan Pasangan Indonesia di Bom Filipina

Pengamat sayangkan Filipinan terlalu cepat menyebut pelaku pasangan Indonesia.

Rep: Mansyur Faqih/ Red: Elba Damhuri
Polisi berjaga di luar gereja yang menjadi sasaran bom pada Ahad (27/1) di Jolo, Filipina.
Foto: AP
Polisi berjaga di luar gereja yang menjadi sasaran bom pada Ahad (27/1) di Jolo, Filipina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia menyatakan masih menunggu hasil identifikasi pelaku bom bunuh diri gereja di Jolo, Filipina Selatan. "Kita mendengar adanya kabar bahwa pelakunya warga Indonesia, dari kemarin saya sudah berkomunikasi dengan otoritas Filipina, namun sampai pagi ini belum terkonfirmasi hasil identifikasinya," kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi di Universitas Andalas, Padang, Sabtu (2/2).

Dalam pernyataan resminya, Menlu Retno juga menyatakan, KBRI di Manila maupun KJRI di Davao City juga sedang berusaha mendapatkan konfirmasi dari berita tersebut. Hal ini sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak di Filipina untuk memperoleh konfirmasi.

Dari hasil komunikasi yang dilakukan hingga saat ini, menurut dia, proses investigasi dan identifikasi masih berlangsung. "Hari ini saya masih akan terus melanjutkan komunikasi dengan otoritas Filipina untuk memastikannya," ujar dia lagi.

Akan tetapi, ujar Menlu, informasi terakhir yang diterima dari pihak Kepolisian Nasional Filipina (PNP) dan komando militer Western Mindanao Command (Westmincom), identitas maupun kewarganegaraan pelaku pengeboman di Jolo belum teridentifikasi sampai saat ini. Artinya, hingga saat ini informasi yang menyebut pelaku adalah WNI masih bersifat dugaan.

"Jika betul WNI, itu yang akan kami pastikan," kata Menlu Retno.

Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Pol Syahar Diantono mengatakan, Polri belum dapat memastikan identitas pelaku serangan bom bunuh diri itu. Polri disebutnya masih menunggu Kementerian Luar Negeri yang saat ini berupaya mendapatkan informasi resmi soal kasus tersebut.

Pengamat hukum Andi Muhammad Asrun menilai tuduhan Filipina yang menyebut pelaku bom bunuh diri di Pulau Jolo adalah pasangan suami-istri warga negara Indonesia masih terlalu dini atau prematur. "Harus melalui tahap-tahap dan proses identifikasi selesai, baru ke tuduhan," kata Asrun, Sabtu.

Namun, dia juga menyebutkan, terorisme adalah kejahatan transnegara dengan pelaku antarnegara pula. Karena itu, tidak mengherankan jika ada pelaku pengeboman di Filipina dari Indonesia.

"Lebih dari itu, telah lama terjalin hubungan aktivis terorisme antara Indonesia dan Filipina, terutama dari selatan," kata Asrun.

Untuk itu, dia berharap Polri dapat mematikan sel-sel teroris yang ada di Indonesia hingga tidak lagi terjadi teror bom, baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang melibatkan WNI.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Ano menyatakan, dua pelaku serangan bom bunuh diri yang terjadi di sebuah gereja Katolik di Pulau Jolo, Filipina Selatan, pada 27 Januari 2019 merupakan warga negara Indonesia (WNI). Pernyataan itu dikatakan mengutip informasi yang didapatkan dari saksi mata dan sumber-sumber yang tidak diungkapkan.

Dari kesaksian itu, Menteri Ano mengaku yakin bahwa seorang pria Indonesia dan istrinya berada di balik serangan di Pulau Jolo yang mayoritas berpenduduk Muslim. Meski begitu, ISIS telah menyatakan bertanggung jawab atas bom yang menewaskan 22 orang serta melukai lebih dari 100 orang lainnya, termasuk warga sipil dan tentara.

"Yang bertanggung jawab adalah pelaku bom bunuh diri asal Indonesia. Namun, kelompok Abu Sayyaf yang membimbing mereka dengan mempelajari sasaran, melakukan pemantauan rahasia, dan membawa pasangan ini ke gereja," kata Ano, seperti diberitakan ABS-CBN News.

Ano menambahkan, seorang pria yang dikenal sebagai "Kamah" yang sekarang menjadi tersangka dalam pengeboman itu bertindak sebagai salah satu pemandu pasangan Indonesia. Ano mengaku memiliki sumber yang memberitahunya bahwa pengeboman itu adalah "proyek" kelompok teroris lokal Abu Sayyaf.

Direktur Senior Kepolisian Provinsi Sulu Pablo Labra mengatakan, beberapa saksi mata menunjuk seorang pria dan wanita yang mereka percaya bertanggung jawab atas aksi teror tersebut.

Serangan di Filipina ini membangkitkan kekhawatiran tentang pengaruh ISIS di Asia Tenggara. Banyak yang khawatir para teroris dari Malaysia, Indonesia, dan tempat lainnya tertarik untuk datang ke Mindanao.   

Pemerintah Filipina sudah memberlakukan darurat militer di Mindanao sejak para pemberontak dan teroris menyerang Mirawi City pada 2017 lalu. Mereka bertahan selama lima bulan dari serangan udara yang terlihat seperti perang di Suriah dan Irak.  

Serangan ini terjadi setelah diadakannya referendum damai pada 21 Januari lalu. Referendum yang memberikan otonomi kepada masyarakat Muslim Mindanao kecuali kelompok Abu Sayyaf.  

Pada Rabu lalu (30/1) dua orang tewas dalam serangan lemparan granat ke masjid di dekat Zamboanga, provinsi mayoritas Kristen. Belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan ini.

(antara ed: mansyur faqih)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement