REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Terorisme dan Intelijen Harits Abu Ulya meminta masyarakat tidak berlebihan merespons kabar keterlibatan sepasang Warga Negara Indonesia (WNI), dalam pemboman Gereja Katedral di Jolo, Filipina. Ia menganggap pernyataan Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Ano tersebut dinilai terlalu prematur.
"Sementara fakta di lapangan justru sebaliknya, belum menemukan titik terang dan masih proses investigasi lebih mendalam," kata Harits saat dihubungi Republika, Ahad (3/1).
Otoritas Filipina, menurut dia, saat ini masih dihadapkan pada spekulasi dua kemungkinan terkait peristiwa tersebut. Pertama, apakah peristiwa bom tersebut terjadi karena bunuh diri atau dikendalikan via remot kontrol. Hal tersebut belum menemukan titik terang.
Harits mencatat, bukan kali ini saja pemerintah Filipina menuding keterlibatan WNI sebagai aktor pemboman. Sebelumnya mereka menyebut juga keterlibatan WNI di pengeboman sebuah perbelanjaan di wilayah Basilan Mindanao. Namun pada akhirnya kabar tersebut tidak terbukti.
"Jadi pada kasus terbaru di Jolo-Sulu ini soal isu 2 WNI sebagai aktor pemboman juga sangat potensial hanya sebatas asumsi yang tidak ada benarnya," kata Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) tersebut.
Menurutnya, ada beberapa alasan tuduhan tersebut muncul. Pemboman terhadap gereja baru kali ini terjadi. Filipina menilai peristiwa tersebut persis seperti peristiwa yang terjadi di Surabaya, yang dilakukan pengikut ISIS di Indonesia.
Kemudian masuknya beberapa WNI yang tergabung ke dalam grup Abu Sayaf dan melakukan pertempuran di Marawi membuat asumsi bahwa pelaku pemboman gereja katedral tersebu5 semakin kuat. Selain itu lemahnya militer dan intelijen Filipina dalam mengidentifikasi kelompok Abu Sayaf menjadi salah satu persoalan.
"Saya melihat pihak otoritas pihak Filipina menghadapi kesulitan yang cukup tinggi untuk identifikasi, mengurai menemukan master mind dari serangan kali ini. Karena kelompok Abu Sayaf terdiaspora dalam banyak faksi dengan jumlah kecil," jelasnya.
Ia meminta sebaiknya publik menunggu keterangan resmi dari kemenlu RI setelah melakukan berbagai elaborasi dalam kasus ini.