REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan ditolak oleh ratusan musisi Indonesia. Terdapat empat poin yang menjadi alasan utama RUU tersebut ditolak ratusan musisi yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan.
Berdasarkan keterangan tertulis Koalisi, faktor pertama ditolaknya RUU tersebut adalah adanya pasal karet. Pasal 5 RUU tersebut memuat kalimat yang penuh dengan multi interpretasi dan bias, seperti menyita, melecehkan, menodai, dan memprovokasi.
“Pasal karet seperti ini membukakan ruang bagi kelompok penguasa atau siapapun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai," kata Frontman Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud, yang tergabung dalam koalisi tersebut.
Selain itu, Koalisi menilai, pasal ini juga bertolak belakang dengan semangat kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi yang dijamin oleh konstitusi NKRI yaitu UUD 1945. Dalam konteks ini, penyusun RUU Permusikan dinilai telah menabrak logika dasar dan etika konstitusi dalam negara demokrasi, dan justru menciptakan iklim negara otoritarian “Ini kan gaya Orde Baru,” kata musisi independen Jason Ranti.
Faktor kedua, RUU ini dinilai memarjinalisasi musisi independen dan berpihak pada industri besar. Pasal yang mensyaratkan sertifikasi pekerja musik berpotensi memarjinalisasikan musisi yang tidak sesuai dengan pasal ini. Demikian juga Pasal 10 yang mengatur distribusi karya musik.
Koalisi menilai, dengan tidak memberikan ruang kepada musisi untuk melakukan distribusi karyanya secara mandiri, pasal ini sangat berpotensi memarjinalisasi musisi. Terutama musisi independen.
Menurut Jason Ranti, dengan mengatur tentang cara distribusi musik melalui ketentuan yang hanya bisa dijalankan oleh industri besar, maka pasal ini menegasikan praktik distribusi karya musik yang selama ini dilakukan oleh banyak musisi yang tidak tergabung dalam label atau distributor besar. “Ini kan curang,” kata dia dalam keterangannya.
Sementara menurut Endah Widiastuti dari Endah and Rhesa, referensi pembuatan RUU ini dinilainya tak paham gerakan dan napas kelompok musik bawah tanah.
Faktor Ketiga, RUU disebut memaksakan kehendak dan mendiskriminasi. Bagian uji kompetensi dan sertifikasi dalam RUU Permusikan adalah cerminan pemaksaan kehendak dan berpotensi mendiskriminasi musisi. Musisi Mondo Gascaro menjelaskan, lembaga sertifikasi yang ada biasanya sifatnya tidak memaksa pelaku musik, tetapi hanya pilihan atau opsional.
"Selain itu, pasal-pasal terkait uji kompetensi ini berpotensi mendiskriminasi musisi autodidak untuk tidak dapat melakukan pertunjukan musik jika tidak mengikuti uji kompetensi," kata dia.
Keempat, Koalisi menilai, RUU ini hanya memuat informasi umum dan mengatur hal yang tidak perlu diatur. Beberapa pasal memuat redaksional yang tidak jelas mengenai apa yang diatur dan siapa yang mengatur. Misalnya, pasal 11 dan 15 hanya memuat informasi umum tentang cara mendistribusikan karya yang sudah diketahui dan banyak dipraktikkan oleh para pelaku musik serta bagaimana masyarakat menikmati sebuah karya.
Kedua pasal ini dinilai tidak memiliki bobot nilai yang lebih sebagai sebuah pasal yang tertuang dalam peraturan setingkat undang-undang. Demikian pula dengan pasal 13 tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia.
Koalisi menyebut, kesalahan-kesalahan ini menunjukkan kekurangpahaman para penyusun naskah RUU Permusikan tentang keanekaragaman potensi dan tantangan dunia musik. “Dengan kata lain, banyaknya pasal yang mengatur hal yang tidak perlu diatur ini menunjukkan bahwa RUU Permusikan ini tidak perlu,” kata Arian dari band Seringai.
Koalisi itu terdiri dari 260 orang yang merupakan musisi hingga praktisi musik, di antaranya frontman Efek Rumah Kaca Cholil Mahmud, Iga Massardi dari Barasuara, Endah Widiastuti dari Endah and Resa, hingga Soleh Solihun.