REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Usulan agar kuota Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tidak lagi berdasarkan akreditasi sekolah dinilai sulit terealisasikan. Alasannya karena jumlah lulusan SMA dan ketersediaan kursi di perguruan tinggi negeri belum imbang.
“Kalau mau hapus itu, harus sudah punya kursi perguruan tinggi negeri yang sama dengan jumlah lulusan SMA. Sekarang masih belum,” terang Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemristekdikti Prof Ismunandar, Senin (4/2).
Apalagi menurut dia, tahun ini, proses SNMPTN sedang berjalan, sehingga tidak mungkin skemanya diubah di tengah jalan. Kendati demikian, Kemenristekdikti akan tetap berupaya memperluas peluang bagi lulusan SMA untuk masuk ke perguruan tinggi negeri.
Salah satu perluasan akses tersebut akan diarahkan pada perkuliahan daring (online), sehingga mahasiswa dan dosen tidak harus melakukan tatap muka.
“Langkahnya kan mulai dari beberapa mata kuliah dulu. Kalau sudah siap lalu full online. Kalau ke depan lagi beberapa prodi sudah siap, maka akan jadi universitas online seperti misalnya UT (Universitas Terbuka, red),” jelas dia.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengkritisi ketentuan kuota pada seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) yang berbasis akreditasi sekolah. Menurut dia, pola perekrutan tersebut tidak memberi keadilan bagi siswa.
“Saya juga sudah pesan ke tim yang berhubungan dengan Kemenristekdikti untuk segera menghilangkan pola kuota jalur SNMPTN yang berbasis akreditasi sekolah,” kata Muhadjir di Jakarta, Kamis (31/1).
Muhadjir mengusulkan agar perekrutan SNMPTN murni berdasar prestasi siswa pada nilai raport. Intinya, landasan utama perekrutan mahasiswa baru jalur SNMPTN harus mengacu pada prestasi individual siswa bukan prestasi sekolah.